JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Sektor Kehutanan sebagai turunan UU Cipta Kerja menuai protes dari kalangan petani sawit. Draf RPP yang sekarang beredar berpotensi menciptakan kerugian bagi petani dan negara.
Berdasarkan kajian Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP APKASINDO) bahwa apabila otoritas kehutanan tetap memberangus sekitar 2,73 juta hektar kebun kelapa sawit petani yang diklaim dalam kawasan hutan. Total kerugian petani dapat mencapai Rp 546 triliun.
“Setelah kami hitung, total kerugian petani mencapai Rp546 triliun. Angka itu bersumber dari kerugian fisik kebun sekitar Rp300,3 triliun, dampak sosial Rp122,85 triliun dan investasi pembelian lahan baru sekitar Rp122,85 triliun. Sekitar 8,34 juta orang pun bakal menganggur,” rinci Ketua Umum DPP Apkasindo, Dr (c) Ir. Gulat ME Manurung, MP., C.APO saat berbincang dengan Media, Sabtu (9/1).
Kalkulasi ini bersumber dari kajian Tim khusus DPP APKASINDO yang membahas RPP Kehutanan UUCK. Tim ini murni dari internal APKASINDO, yang terdiri dari Dewan Pakar DPP APKASINDO dan Pengurus Harian. Hasil Rumusan RPP UUCK yang diusulkan DPP APKASINDO sudah dikirimkan ke 14 Kementerian/Lembaga Pemerintah, termasuk Presiden Jokowi. Selain menghasilkan usulan RPP UUCK, Tim DPP APKASINDO juga sudah menghitung potensi kerugian Petani dan Negara jika RPP UUCK dipaksakan.
Gulat mengatakan dari perhitungan tim khusus ternyata pemerintah juga merogoh kocek dalam-dalam hingga Rp525 triliun untuk menghutankan kembali lahan itu selama 20 tahun, itupun jika berhasil dihutankan.
“Pemerintah juga akan kehilangan pendapatan dari bea keluar dan pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO). Pemerintah juga musti membeli solar tambahan lantaran rasio kebutuhan domestik CPO berkurang. Kalau ditotal kehilangan dan beli solar itu, Rp298,7 triliun setahun,” rinci Gulat.
Total kerugian semua duit petani dan pemerintah mencapai Rp1.369,7 triliun apabila RPP Kehutanan UU Cipta Kerja tidak diperbaiki.
“Khusus pendapatan pemerintah tadi, hitungannya dalam setahun. Kalau misalnya sawit yang ditebang itu berumur 10 tahun, berarti produktivitas sawit masih ada 15 tahun. Kalikan saja dengan Rp298,7 triliun tadi,” ujar Gulat yang juga auditor ISPO ini.
Kalau nasib petani akan seperti hitung-hitungan tadi, kata Gulat, RPP kehutanan yang sedang digodok itu, tidak sejalan dengan cita-cita Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) nomor 11 tahun 2020 seperti misi Presiden Jokowi.
Gulat menyatakan Presiden Jokowi dan Wapres KH Maruf Amin menjadi harapan petani sawit. Harusnya persoalan semacam ini tak perlu sampai ke Presiden dan Wapres.
“Sebab yang kami tahu semua pembantu Presiden dan Wapres itu harus menjalankan visi dan misi Presiden dan Wapres, bukan visi dan misi Kementerian Kehutanan, Kemenko Perekonomian, atau Kementerian Pertanian,” tegas Gulat.
“Selama ini kami petani sawit sudah cukup bersabar dan menahan diri dengan segala regulasi yang merugikan. Tapi kali ini, kami tak akan diam. Kami akan mendatangi mereka yang mengabaikan suara petani sawit. Jangan salahkan kami apabila puluhan ribu petani sawit terpaksa berkumpul di Jakarta,” tegas Gulat.
Solusi kebun petani di kawasan hutan
Anggota Divisi Riset dan Advokasi Relawan Jaringan Rimbawan (RJR), Petrus Gunarso, PhD, memiliki pandangan yang sama dengan Gulat Manurung. “Saya sangat prihatin membayangkan nasib petani Sawit ke depannya. Kebun mereka ini aset yang luar biasa, ” jelasnya.
Petrus Gunarso mengingatkan tujuan Presiden Jokowi menerbitkan UUCK untuk memastikan berinvestasi dengan tenang, mudah, murah dan tenaga kerja pun terserap.
“Kalau RPP yang disusun menimbulkan kegaduhan. Kebun yang tumpang tindih dengan kawasan hutan yang sangat luas, maka investasi pasti terganggu. Petani sawit itu termasuk Investor, jadi penyelesaian untuk investasi ini perlu dicari”, ujar alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.
Ia mengatakan RPP Kehutanan UU Cipta Kerja belum menjadi solusi bagi para petani/pekebun yang terlanjur berinvestasi. Ini berarti, RPP itu belum sejalan dan belum seirama dengan cita-cita UUCK itu.
Persoalan kawasan hutan yang menjadi sumber masalah itu. Bahwa tata batas belum jelas, tata ruang belum disepakati, batas tidak diketahui dan dipahami, proses sering kurang prosedural, maka terjadilah berbagai keterlanjuran.
“Kalau ratusan orang bahkan ribuan orang masuk ke kawasan hutan, mustinya dari awal sudah tahu dan harus dicegah, tapi ini, kenapa setelah kebun petani menghasilkan dan bahkan ada yang sudah tua, baru mau dibenahi dengan sangsi gak masuk akal dan denda?”ujarnya.
Menurutnya, ada kekuasaan yang berlebihan di KLHK yang masih beranggapan bahwa Undang-Undang Pokok Kehutanan nomor 5 tahun 1967 itu masih berlaku. Padahal itu sudah lama dicabut dan diganti dengan Undang-Undang sektor, UU 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.
Terkait adanya isu lahan untuk rakyat maksimal dua hektar atau lima hektar kata Gunarso, itu muncul lantaran berbagai publikasi dari berbagai pihak dan banyak mengacu pada program transmigrasi. Acuannya jangan Pulau Jawa karena di Pulau Jawa itu 2 Hektar sudah sangat besar nilainya, berbeda dengan di pedalaman Kalimantan, Papua dan Sumatera.
Sebenarnya batasan luasan ini perlu segera ditetapkan secara adil sesuai dengan lokalitas masyarakatnya. Luasan maksimum perorangan di Jawa mungkin perlu dibedakan dengan di luar Jawa.