Risa Bhinekawati sudah sejak lama mempunyai perhatian besar terhadap masalah sosial di sekitarnya. Sebagai seorang warga negara Indonesia, ia mempunyai cita-cita besar bisa ambil bagian untuk menyelesai masalah itu dan berupaya membangun kemajuan bangsa, yakni dengan terlibat aktif pada kegiatan akademik dan memimpin banyak organisasi professional.
Salah satunya, ia secara konsisten menyuarakan isu tentang meningkatkan pembangunan keberlanjutan di Indonesia. Ketika menjalani studi untuk kandidat Doktor di Australian National University, ia tertarik meneliti bagaimana peranan perusahaan sawit dalam pengentasan kemiskinan.
“Di sejumlah jurnal dan penulisan ilmiah di luar negeri, lebih banyak yang menilai sawit dari sisi negatifnya. Saya ingin melihat dari sudut pandang lain,”kata Risa.
Penelitian ini dilakukan di areal perkebunan PT Astra Agro Lestari Tbk yang terletak di Mamuju dan Mamuju Utara, Sulawesi Selatan. PT Astra Agro Lestari Tbk dipilih lantaran termasuk perusahaan sawit skala besar di Indonesia. “Saya ingin melihat komitmen perusahaan sawit (Astra Agro) untuk mengentaskan masalah kemiskinan di sekitar perkebunan mereka,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, pemerintah memberikan lisensi dan tanggungjawab sosial kepada perusahaan sawit, termasuk Astra Agro Lestari untuk turut serta ambil bagian. Seperti diketahui, pemerintahan di negara berkembang belum mempunyai kapasitas yang mencukupi untuk menyelesaikan masalah sosial mengenai kemiskinan.
“Kalau di negara maju pengentasan kemiskinan dilakukan oleh pemerintah. Di negara berkembang pemerintah belum punyai kapasitas untuk menyelesaikan ini semua. Oleh karena itu, perkebunan sawit diberi lisensi untuk melakukan kegiatan ekstraksi dan punya kewajiban untuk menyejahterakan lingkungan di mana dia berada,” kata Risa saat ditemui tim Sawit Indonesia di Nusa Dua Bali pada akhir November 2016.
Awal penelitian ini, ia turun langsung ke daerah Mamuju untuk mengetahui bagaimana kehidupan sesungguhnya petani sawit di daerah tersebut. Ia mewawancarai mereka satu per satu dengan mendatangi rumahnya masing-masing maupun datang ke Balai Desa. Pertanyaan seputar asal mula petani tertarik berkebun sawit dan apa hasil yang diperoleh.
Untuk mendapatkan hasil riset yang menyeluruh, ia sampai menginap di perkebunan untuk mengetahui secara langsung bagaimana kerja petani dan pengelolaa perkebunan yang dilakukan oleh perusahaan. Iajuga mewawancari pihak perusahaan untuk melihat seberapa jauh peran mereka untuk mengentaskan kemiskinan di daerah Mamuju.
Ia menuturkan, bahwa kemitraan antara perusahaan terjalin setelah diadakannya pertemuan untuk membicarakan masalah yang dihadapi oleh petani. Para petani yang rata-rata penduduk transmigrasi dari wilayah Jawa ini mengakui kesulitan menanam karet di wilayah tersebut sehingga mempengaruhi rendahnya pendapatan mereka.
Oleh karena itu, perusahaan menyarankan untuk mengubah alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Apabila disetujui oleh kedua belah pihak, maka perusahaan akan menjalin kemitraan dengan memberikan pelatihan khusus, pinjaman tanpa bunga dan bibit unggul kepada para petani.
“Perusahaan menjalankannya melalui pola kemitraan, ada tiga hal yang diberikan kepada petani diantaranya transfer teknologi, akses kepada keuangan dalam bentuk micro finance dan akses market untuk menyerap panen petani yang sesuai kualitas mereka,” jelasnya.
Setelah itu, kedua belah pihak memutuskan mendirikan kelompok petani serta mengadakan kompetisi antar perkebunan kecil, yang bertujuan agar semua pihak bisa ikut terlibat dan bisa belajar satu sama lain. Proses selanjutnya, Yayasan Darma Bakti milik Astra agro lestari mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang mengakomodir jalannya modal, pengadaan, penyerapan hasil panen petani dan mengatur standarisasi panen yang telah disetujui bersama.
“Mereka juga mempunyai politeknik manufaktur untuk mendidik petani agar melatih kemampuan mereka di bidang teknis,” jelasnya.
Setelah beberapa tahun berselang, para petani sawit ini akhirnya bisa mencicipi hasilnya. Hal ini berdasarkan data CSR Astro Agro pada periode 1992-2011 serta diperkuat dengan hasil wawancara dengan pihak petani maupun perusahaan, bahwa kehidupan petani berubah drastis setelah menjalani usaha perkebunan sawit.
Mereka mendapatkan pendapatan bersih sekitar Rp 3 juta-Rp 5 juta per 2 hektar lahan sawit. Penghasilan sebesar ini suah dipotong 30% untuk biaya pupuk, pencegahan hama dan sebagainya. Namun, pendapatan itu bisa berubah sewaktu-waktu tergantung fluktuasi harga tandan buah segar (TBS) di pasaran.
“Semuanya dibuat transparan bahkan ada perwakilan dari petani yang setiap hari rapat dengan Gubernur untuk menentukan harga TBS setiap bulan. Petani ini dibayar bulanan melalui LKM dan sudah dipotong untuk tabungan 30%. Nanti saat penanaman lagi, uang untuk kebutuhan pupuk dan lainnya sudah ada di LKM,” Jelas dia.
Selama mengadakan penelitian di sana, Risa menceritakan banyak petani yang diwawancarai bersyukur karena kondisi perekonomian mereka semakin membaik. Mereka bahkan secara mandiri dapat membangun masjid dan memperbaiki kondisi jalan raya tanpa bantuan dari pemerintah.
“Mereka cerita saat saya wawancara mengucapkan terima kasih banget dari kehidupan yang miskin hingga sanggup membuat fasilitas itu,” ungkapnya.
Keseriusan Risa terhadap persoalan publik, membuat riset untuk tugas akhir ini mendapatkan apresiasi dari dosen penguji hingga akhirnya ia dinyatakan lulus dan berhak mendapatkan gelar Ph. D pada program Manajemen dari Universitas Nasional Australias pada Desember 2015 silam.
Namun, hasil risetnya ini tidak hanya selesai pada ruang akademik saja, ia juga menyuarakan isu pembanguan keberlanjutan ini di instansi pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat sipil dengan mengadakan seminar-seminar di berbagai daerah maupun negara lain. Seperti negara Amerika Serikat, Kanada, Malaysia, Singapura, Jepang, Cina, Rusia, Turki dan Hong Kong.
Perhatiannya terhadap masalah tanggung jawab sosial membawanya untuk menerima berbagai penghargaan antara lain Penerus Kartini Pilihan Gatra (2010), Indonesia-Australia Merdeka Fellowship (1999), Merriman Fellowship-George Washington University (2005), Australian Leadership Award (2010), dan Allison Sudrajat Award (2010, juara ke-2 untuk program Danamon Go Green dari BBC World Challenge (2009). (Ferrika Lukmana)