Penurunan harga CPO di pasar global, membuat panik kalangan perusahaan perkebunan dan petani. Dari kisaran RM 3.100 per ton di awal tahun, harga CPO merosot drastis 41% sampai di level RM 2.200 per ton pada Oktober. Pemerintah Malaysia menyikapi masalah ini dengan kebijakan pemangkasan pajak ekspor CPO mulai 1 Januari 2013. Bagaimana dengan Indonesia?
Selama satu hari penuh, rombongan Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia, Tan Sri Bernard Dompok menyambangi dua kementerian Republik Indonesia yaitu Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Rombongan ini membawa misi untuk membahas anjloknya harga CPO di pasar dunia yang terjadi selama sebulan terakhir. Di Malaysia, turunnya harga CPO menyebabkan stok CPO terus meningkat di tangki penyimpanan. Dampaknya dapat ditebak, kilang minyak sawit di Malaysia ( red-pabrik kelapa sawit) membatasi pembelian buah sawit dari petani.
Di Jakarta, Tan Sri Bernard Dompok mengemukakan harga CPO sekarang ini tidak menguntungkan bagi industri kelapa sawit di negaranya karena kurang dapat menutupi biaya produksi. Rendahnya harga CPO ini membuat petani kecil kesulitan menjual hasil panen kepada pabrik, lantaran penuhnya tangki penyimpanan CPO. Di Malaysia, kepemilikan lahan petani mencapai 40% dari total luas areal 4,85 juta hektare pada 2010. Rata-rata luas lahan petani negeri Jiran berkisar 5-7 hektare.
Dalam pertemuan antara Indonesia dengan Malaysia, kedua negara sepakat mengatur suplai CPO di pasar global. Salah satunya mendorong konsumsi CPO di dalam negeri misalkan meningkatkan penggunaan biodiesel. Suswono, Menteri Pertanian, mengatakan baik Indonesia dan Malaysia sepakat akan mengatur suplai CPO ke pasar dunia. Mekanismenya akan diatur berdasarkan kebijakan masing-masing negara.
Sementara itu Malaysia, berencana mendorong kenaikan pemakaian biodiesel menjadi B5 (kandungan 5% biodiesel sawit dan 95% minyak mentah). Tan Sri Bernard Dompok menuturkan kenaikan konsumsi biodiesel ditargetkan mencapai 500 ribu ton per tahun dari tahun sebelumnya berjumlah 200 ribu ton per tahun. Langkah lainnya, Malaysia berencana meremajakan tanaman (replanting) seluas 300 ribu hektare pada 2012, guna menekan suplai CPO.
Boleh dikatakan, produsen CPO Malaysia sangat terpukul dengan kondisi harga CPO dunia sekarang ini. Pasalnya, Indonesia telah membatasi produk minyak sawit mentah (CPO) ke pasar global lewat skema Bea Keluar CPO yang lebih tinggi dari produk turunan. Ahmad Fauzi Bin HJ.Puasa, Deputi Direktur Malaysian Institute Economic Research, kepada SAWIT INDONESIA, menjelaskan turunnya harga CPO ini akan berdampak buruk kepada Malaysia dan Indonesia selaku produsen utama CPO dunia. Dampak penurunan harga CPO ini akan berdampak kepada tiga hal antara lain pendapatan ekspor, pendapatan masyarakat dan jumlah tenaga kerja.
Berdasarkan analisis yang dibuat Ahmad Fauzi Bin HJ.Puasa, penurunan nilai palm oil dan produk palm oil secara bertahap mulai dari 1%, 5%, 10%, 15%, 19%, dan 20% akan memengaruhi nilai ekspor. Dengan metode analis input-output (I-O), setiap penurunan 1% nilai ekspor palm oil dan produk palm oil akan membuat turunnya pendapatan ekspor Malaysia sebesar US$ 141,8 juta. Apabila turun sampai 19%, maka negeri Jiran berpotensi kehilangan pemasukan ekspor CPO sampai US$ 2,6 miliar. Penurunan sebesar inipun akan membuat 81.818 pekerja perkebunan sawit kehilangan mata pencaharian.
Dengan nilai persentase penurunan nilai palm oil dan produk palm oil yang sama dengan Malaysia, diperkirakan dampak lebih buruk akan dialami Indonesia mencapai 1,5 kali dari Malaysia. Penurunan 1% nilai ekspor palm oil dan produk palm oil membuat terpangkasnya pendapatan ekspor sebesar US$ 206,34 juta. Jika turun 19%, diperkirakan pendapatan ekspor produk CPO Indonesia dapat terpangkas US$ 3,9 miliar. Bahkan, anjloknya pendapatan ekspor ini mengakibatkan pemangkasan jumlah pekerja 520.907 orang.
Langkah cepat diambil pemerintah Malaysia yang segera menetapkan pemangkasan pajak ekspor CPO, dengan tarif baru sebesar 4,5%-8% dari pajak ekspor sebelumnya mencapai 23%. Kebijakan ini mulai berlaku 1 Januari 2013. Tan Sri Bernard Dompok mengatakan kebijakan ini diambil supaya Malaysia dapat bersaing dengan produk ekspor CPO dari negara lain. Kebijakan ini diharapkan pula dapat membuat harga produk turunan CPO Malaysia dapat berkompetisi di pasar global.
Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan, menyatakan langkah yang diambil Malaysia malahan dapat merugikan Indonesia, karena harga dapat melemah dan terjadi oversuplai di pasar global. “Ada indikasi pelanggaran kesepakatan yang telah dibicarakan kedua negara untuk mengendalikan suplai CPO,” ujarnya kepada media massa.
Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif GAPKI, mengatakan kebijakan Malaysia ini mengikuti skema Bea Keluar CPO yang telah berlaku di Indonesia semenjak tahun lalu. Pasalnya, kebijakan ini dilakukan supaya produk CPO Malaysia dapat bersaing dengan Indonesia. Selain itu, Malaysia ingin menjaga supaya tidak terjadi suplai lebih di tanki CPO mereka dan hasil panen petaninya tetap diserap kalangan industri.
Kebijakan Indonesia
Berbeda dengan Malaysia, pemerintah Indonesia belum mengambil sikap tegas untuk mengantisipasi penurunan harga CPO di pasar global. Penetapan kebijakan baru akan diambil setelah rapat kabinet dengan Kementerian Perekonomian. Suswono, Menteri Pertanian, menjelaskan pengaturan suplai CPO di dalam negeri mesti dibicarakan dengan kementerian terkait dalam rapat bersama di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian.
“Pasokan CPO perlu diatur supaya harga tetap stabil dan tidak turun drastis. kami menunggu perkembangan penurunan harga apakah dalam waktu dekat ini akan kembali naik. Sebab, permintaan Eropa berpotensi meningkat lantaran datangnya musim dingin. Jika naik, akan terjadi peningkatan harga,” ujar Suswono.
Mantan anggota DPR ini menyayangkan kebijakan Malaysia yang bersifat kontradiktif dengan kesepakatan yang dibicarakan kedua pihak di Jakarta. Khawatirnya, langkah Malaysia ini akan membuat persaingan kurang sehat dalam perdagangan ekspor CPO. Sehingga berimbas kepada harga CPO dan produk turunannya.
Menurut Suswono, belum ada kepastian jelas terhadap kebijakan yang akan diambil pemerintah Indonesia, karena masih melihat pergerakan harga CPO. Untuk sementara, pemerintah berupaya mendorong kegiatan penghiliran industri sawit dengan meningkatkan penggunaan biodiesel di dalam negeri.
Kebijakan yang diambil Indonesia dan Malaysia sangat bergantung sejauh mana permintaan negara konsumen kembali meningkat. Tentu saja, krisis Uni Eropa diharapkan segera mereda sehingga tidak berdampak panjang kepada Cina maupun India sebagai konsumen utama CPO. Selain itu, kedua negara mesti bekerjasama untuk mengendalikan harga CPO dunia yang sekarang ini masih dimainkan kalangan broker di pasar komoditas. Jika tidak, kalangan petani dan industri yang akan dirugikan dengan kondisi ini. (Qayuum Amri)