Pemerintah Indonesia benar-benar serius menghadapi resolusi sawit yang dikeluarkan oleh Parlemen Uni-Eropa. Bukti keseriusan pemerintah bukan hanya membuat sanggahan tentang sawit Indonesia yang sudah berkelanjutan, melainkan juga upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang coba membujuk beberapa negara Eropa untuk tetap membeli minyak sawit dan turunannya dari Indonesia.
Seperti disampaikan Presiden Jokowi di sela-sela pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara-Negara yang tergabung dalam Kelompok 20 ekonomi utama dunia atau biasa dikenal dengan G-20. Langkah yang diambil pemerintah tentu bukan sesuatu yang berlebihan. Pasalnya, sawit komoditas perkebunan yang paling banyak memberikan dana bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Data Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjukan selama 2015 ekspor produk kelapa sawit dan turunannya sebesar USD 18,61M atau 14,2% dari total ekspor non-migas. Sedangkan, pada 2016 ekspor produk kelapa sawit dan turunannya sebesar USD 18,11M atau 13,8% dari total ekspor non-migas.
Di samping itu, sawit juga membuka lahan investasi. Tercatat, selama semester pertama 2015 investasi perkebunan Kelapa Sawit mencapai Rp. 15,7 T dan industri pengolahan sawit mencapai Rp. 7,4 T dari 1601 perkebunan. Oleh sebab itu, permasalahan sawit juga semestinya menjadi sebuah permasalahan negara. Sebab, sawit banyak memberikan kontribusi bagi negara. Resolusi yang dikeluarkan oleh Uni Eropa tentu saja menyinggung kedaulatan bangsa.
Kerusakan lingkungan seperti penggunaan lahan yang berlebihan, deforestasi, kebakaran hutan, hilangnya biodiversity, mempekerjakan anak di bawah umur, dan tidak memberikan upah layak bagi pekerja merupakan asumsi dangkal keluarnya resolusi sawit Eropa.
Sebagai tanaman minyak nabati, sawit memiliki produktivitas terbesar dibandingkan tumbuhan lainnya. Dari aspek penggunaan lahan semisal Indonesia luas lahan sawit 11 juta hektare yang menghasilkan 33 juta ton minyak sawit dalam satu tahun. Sedangkan, di Eropa memiliki perkebunan rapeseed seluas 36 juta hektare dengan hasil 1,8 juta ton hektare per tahun, soybean 122 juta hektare dan menghasilkan 45,8 juta ton per tahun, dan sun flower 36 juta hektare dan menghasilkan 25,8 juta ton per tahun. Itu sebabnya, resolusi Uni Eropa tidak sesuai fakta di lapangan.