Pemerintah sudah mewanti-wanti dampak resesi global bagi perekonomian Indonesia. Lalu bagaimana pelaku industri dan petani sawit menyikapi tantangan ini, apakah resesi dapat menjadi peluang atau ancaman ?
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta pemerintah supaya membuat kebijakan yang lebih kondusif bagi industri sawit. Strategi ini perlu dilakukan Indonesia untuk mendapatkan peluang memenuhi kebutuhan minyak global, walaupun ada proyeksi permintaan bakalan melemah sebagai dampak resesi dunia.
Hal ini disampaikan Fadhil Hasan, Ketua Bidang Luar Negeri GAPKI dalam talkshow yang diadakan Majalah Sawit Indonesia bertemakan “Optimalisasi Ekspor Sawit Sebagai Antisipasi Dampak Resesi”, Rabu (14 Desember 2022).
“Produksi dalam tiga tahun terakhir menunjukkan tren menurun. Demikian juga ekspor. Pangsa ekspor sekitar 70% sementara konsumsi dalam negeri sekitar 30%. Pada 2022, produksi diperkirakan turun dibandingkan dengan tahun 2021, sementara ekspor juga akan mengalami penurunan. Kebijakan pemerintah memberikanan dil dalam penurunan ini,” jelas Fadhil.
Fadhil menjelaskan bahwa tren melemahnya ekspor produk sawit Indonesia sebagai dampak dari kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Berdasarkan data GAPKI bahwa dalam periode 2020-2022 ekspor justru menurun rata-rata 7,66 persen.
“Pertumbuhan ekspor dalam tiga tahun terakhir menunjukkan tren yang menurun terutama akibat pandemi Covid 19. Pada semester pertama 2022, ekspor mengalami disruspi dan turun tajam akibat kebijakan restriksi dan larangan ekspor, namun pulih pada semester II 2022, namun tidak sepenuhnya bisa mengkompensasi,” ujar Fadhil.
Dikatakan Fadhil, tren penurunan daya saing minyak sawit ini juga berdampak kepada perdagangannya di pasar global. Pertumbuhan produksi dan konsumsi minyak nabati dunia relative seimbang. Produksi tumbuh 7,3% sementara konsumsi tumbuh 7,4%. Oleh karena itulah, kesempatan untuk ekspansi tersedia terlebih bagi minyak sawit yang memiliki daya saing yang tinggi.
“Tahun 2022 produksi diperkirakan turun dibanding 2021 juga dengan ekspor. Ini terkait dengan adanya inkonsistensi kebijakan, terkait dengan pelarangan misalnya sangat berpengaruh pada performance 2022,” ujar Fadhil.
Dia membeberkan sebenarnya permintaan minyak sawit Indonesia periode 2005-2015 stabil sekitar 11 persen. Kemudian pada periode 2016-2020 turun menjadi 8 persen dan dua tahun ini yakni 2020-2022 justru tumbuh negatif -2,54 persen. Menurut dia, untuk konsumsi dalam negeri mengalami peningkatan karena adanya program biofuel.
Konsumsi minyak sawit dalam negeri tumbuh 11,7 persen pada periode 2005-2010. Kemudian pada periode 2010-2015 sempat turun menjadi 9,25 persen dan naik lagi sebesar 18 persen pada 2015-2020. Untuk periode 2020-2022 ini konsumsi dalam negeri turun 7,5 persen. “Konsumsi ada peningkatan karena ada program mandatori biofuel.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 134)