JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) tidak berjalan mulus sepanjang 2021. Sampai 22 Desember 2021, realisasi PSR hanya tercapai 38.032 hektare. Capaian ini lebih rendah dibandingkan 2020 dan 2019.
“Realisasi belum dapat mencapai target yang ditetapkan. Namun setiap tahun, ada tren peningkatan penerbitan rekomendasi teknis setiap tahun rata-rata 45,7% per tahun,” kata Mula Putera, Perwakilan Ditjen Perkebunan dalam webinar bertemakan “Upaya Mempercepat Peningkatan Produksi dan Produktivitas Sawit Nasional Yang Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas”, Rabu (22 Desember 2021)
Menurutnya, Kementerian Pertanian meminta petani dan perusahaan untuk terlibat dalam program PSR. Program ini memberikan perbaikan produksi dan produktivitas. Realisasi PSR ini salah satunya akibat banyak kebun petani yang berada dalam kawasan hutan.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, realisasi PSR seluas 90.207 hektare pada 2019. Luasan ini meningkat pada 2020 yang mencapai 94.033 hektare. Setiap tahun, PSR ditargetkan seluas 180 ribu hektare.
Dari 2017-2021, realisasi perkebunan sawit yang mengikuti program PSR mencapai 237.728 hektare. Dana yang tersalurkan sebesar Rp 6,4 triliun dan menjangkau 108.420 petani.
Salah satu tantangan berjalannya PSR yaitu terbitnya rekomendasi BPK RI supaya kebun PSR dapat menyertai pernyataan bebas kawasan hutan dan bebas dari perizinan perusahaan perkebunan dan validasi NIK.
“Makanya Kementerian Pertanian tidak bisa sendiri. Ada keterlibatan kementerian lain di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian untuk memberikan solusi sawit dalam kawasan hutan,” ujar Mula.
Selanjutnya, kegiatan penanaman di lahan PSR baru terealisasi 142.886. Sumatera Selatan menempati provinsi pertama yang paling luas realisasi penanaman. Disusul Riau, Sumatera Utara, Aceh, dan Kalimantan Tengah.
Dr. Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif PASPI, menyebutkan ada 50% kebun sawit rakyat diklaim di kawasan hutan. Sekitar 80 persen kebun sawit rakyat bermasalah dengan legalitas. Legalitas yang masih bermasalah menghambat kebun sawit rakyat mengikuti PSR dan memperoleh sertifikat sawit berkelanjutan (ISPO dan RSPO).
“Kalau masalah ini (legalitas) tidak juga terselesaikan, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mengatakan kelapa sawitnya mengikuti standar berkelanjutan,” urainya.
Berkaitan masalah kebun petani di kawasan hutan. Dr Gulat ME Manurung Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) memperkirakan ada 2,6 juta hektare yang terjebak di dalamnya.”Kami tidak mengerti mana kawasan dan bukan kawasan. Ketika mau ikut PSR, tiba-tiba dilarang begitu saja. Sebelumnya, tidak ada yang mengurusi petani dan tidak mau tahu,” kata Gulat.
Menurut Gulat,”Semua orang tahu seperti kata Pak Tungkot dan Pak Mula mengatakan legalitas penyebab terhambatnya PSR. Tetapi aneh jalan di tempat semua. Tidak ada yang bisa menembus masalah PSR ini . Hanya Presiden Jokowi bisa selesaikan ini.”
“Persoalan legalitas ini masalah hidup masyarakat. Masalah ekonomi masyarakat. Makanya, salah satu topik bahasan dalam Muktama NU adalah reforma agraria,” urai Doktor Ilmu Lingkungan ini.
Prof. Bungaran Saragih, Menteri Pertanian periode 2000-2004, mengatakan setiap tahun pasti ada kebun-kebun yang sudah memasuki umur renta yang perlu diremajakan. Untuk mencapai komposisi tanaman kelapa sawit nasional yang ideal, memerlukan peremajaan secara teratur setiap tahun yakni sekitar 4 persen dari luas areal. Untuk korporasi seperti perkebunan sawit BUMN dan Swasta, kegiatan replanting umumnya telah terjadwalkan dengan baik setiap tahun.
Sedangkan pada kebun sawit rakyat, inisiatif untuk melakukan peremajaan dapat dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri dan juga dukungan Pemerintah Indonesia melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Pemerintah Indonesia melalui BPDPKS dan Kementerian Pertanian telah menargetkan sekitar 185 ribu hektar lahan perkebunan sawit rakyat untuk diremajakan setiap tahunnya.