JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mengapresiasi Rapat Koordinasi Nasional Kelapa Sawit yang diinisiasi Kementerian Pertanian melalui Ditjen Perkebunan di Jakarta, Senin (27 Februari 2023). Hambatan dapat diurai dengam kehadiran pemangku kepentingan sawit khususnya dari pemerintah untuk mempermudah petani mendapatkan dana PSR.
Dr. Gulat ME Manurung, MP, CIMA, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menyimak penjelasan yang disampaikan Kasubdit Perubahan Peruntukan, dan Fungsi Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) FX Herwirawan dalam sesi talkshow. Kesulitan petani berkaitan PSR lebih banyak terkait masalah kawasan hutan.
“Saat ini semua sudah dibuka bottleneck-nya dan ternyata persyaratan PSR terkait ke Kawasan hutan di mana berhubungan dengan regulasi turunan UUCK. Dalam regulasi turunannya dikatakan bahwa kebun yang luasnya di bawah 5 hektar. Lalu sudah sudah dikuasai 20 tahun berturut-turut langsung dikeluarkan dari kawasan hutan melalui perubahan fungsi Kawasan. Maksimal kebun yang diajukan PSR 4 ha per KK. Sudah pasti namanya PSR umur tanamannya sudah di atas 25 tahun. Itu clear,” ujar Gulat.
“Apa yang disampaikan oleh FX Herwirawan memang sangat diperlukan oleh petani calon peserta PSR selama ini. Saya melihat yang disampaikan Pak FX sudah ada sejak UUCK dilahirkan 2020 lalu. Hanya tersamarkan oleh berbagai persoalan mulai dari covid dan dampak covid yang berkepanjangan, larangan ekspor CPO dan dampak pasca larangan ekspor dicabut lalu terakhir ancaman dari dampak perang ukraina dan Rusia,” kata Gulat.
Dalam konteks PSR, dijelaskan Gulat, petani sangat mendukung makanya bagaimana petani yang diklaim dalam Kawasan hutan selanjutnya dapat mengirimkan surat ke Dirjen Planologi KLHK dilengkapi koordinat lahan yang diusulkan. Berikutnya KLHK bisa menetapkan melalui surat bahwa usulan petani memenuhi syarat PSR dari aspek Kementerian Teknis yang menangani kehutanan.
Begitu juga dengan narasumber dari Kementerian ATR BPN yang diwakili oleh Dirjen Survey dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang (SPPR) Kementerian ATR/BPN Virgo Arista Jaya. ”Benar dengan yang dikatakan Pak Virgo supaya tidak tumpang tindih antara lahan usulan petani PSR dengan izin HGU atau HPH atau izin-izin lainnya yang pernah diterbitkan pleh Kementerian ATR BPN,” jelas Gulat.
“Saya melihat kecepatan tanggap darurat dari Dirjen SPPR pada kondisi rendahnya capaian PSR tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya sangat patut diapresiasi,” kata Gulat.
Virgo menjelaskan pada prinsipnya Kementerian ATR/BPN hanya memfokuskan tidak tumpang tindih dengan HPH atau HGU yang sudah pernah terbit dilokasi yang diusulkan petani untuk PSR. Hal ini dapat dilakukan dan dicek dengan self assesment (mandiri) dengan mengakses http://bhumi.atrbpn.go.id.
Gulat menjelasksan bahwa Rakor ini sudah menghasilkan beberapa terobosan percepatan PSR. Sekarang tinggal bagaimana masing-masing kementerian menuangkan dalam bentuk surat edaran. Ketiga kementerian terkait (Kementan, Kementerian ATR BPN dan Kementerian LHK) harus saling sepakat dan segera menjahit tupoksi dari masing-masing kementerian untuk kepentingan percepatan PSR ini.
“Akan menjadi sia-sia jika point-point penting hasil Rakor ini tidak segera “dijahit” sebab hambatan utama PSR sejak tahun 2017 adalah terletak di kedua kementerian ini yang menjalankan visi Presiden Joko Widodo,” terang Gulat.
Saat ini, dikatakan Gulat pihak aparat penegak hukum diharapkann dapat duduk bareng dengan Kementerian Pertanian. Karena, aparat penegak hukum menjadi momok yang menakutkan petani.
“Jadi, Kementan dapat melakukan koordinasi dengan APH melalui surat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, nomor :TAN.03-157/M.EKON/06/2021, perihal Dukungan Pelaksanaan Program PSR yang ditujukan kepada Kejaksaan Agung dan juga Kapolri. Inti surat tersebut adalah bagaimana mensukseskan PSR sebagai Program Strategis Nasional,” jelasnya.
Gulat menjelaskasn bahwa petani sawit sepakat bahwa jika BPK atau Sucofindo telah menemukan pelanggaran atau bukti permulaan adanya tindak pidana korupsi pada pelaksanaan PSR suatu kelompok tani atau koperasi, maka silahkan diproses.
“Namun jika BPK dan Sucofindo sudah menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan dan tidak ditemukan kesalahan prosedur dan tidak ditemukan bukti permulaan korupsi, sebaiknya APH tidak perlu melakukan pemeriksaan,” kata Gulat.
Diakui Gulat, pemeriksaan oleh APH telah membuat petani ketakutan dan akhirnya membatalkan niat ikut PSR baik yang masih proses pengusulan. Akibatnya, banyak peserta PSR yang sudah terbit rekomendasi teknis lalu mengundurkan diri.
“Kalau sudah seperti ini bakalan repot dan capaian target PSR 2023 akan tidak jauh beda dengan tahun 2022 . Petani sawit hanya berharap kepada program PSR ini. Tanpa PSR dipastikan petani akan hilang dari sektor hulu karena tanaman yang ada saat ini sudah tidak produktif dan sumber bibitnya tidak jelas asal usulnya. Kami bersandar-harapan kepada Direktur Tanaman Tahunan,” harap Gulat menutup pembicaraan.