Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting sebagai penghasil minyak nabati yang menjadi komoditas ekspor unggulan Indonesia. Budidaya kelapa sawit terus mengalami perkembangan berbanding terbalik dengan masih rendahnya produktivitas yang dihasilkan terutama bagi perkebunan rakyat yang rata-rata hanya 16 ton per hektar TBS (Tandan Buah Segar).
Oleh karena itu, untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit banyak upaya yang dilakukan baik melalui perluasan areal maupun perbaikan teknis budidaya. Salah satu kegiatan dalam teknik budidaya yang memerlukan pengelolaan adalah kegiatan pemupukan. Dalam upaya pemberian pupuk seyogyanya harus memperhatikan sifat-sifat kimia dan fisika tanah, antara lain: keseimbangan unsur hara di dalam tanah, kemasaman tanah, tekstur, dan kapasitas tukar kation (KTK).
Penggunaan berbagai jenis pupuk pada tanaman kelapa sawit sudah dilakukan kebun dari tahun ke tahun. Memang, pemakaian pupuk kimia beberapa tahun pertama dapat meningkatkan produktivitas. Namun setelah belasan tahun kemudian hingga saat ini, penggunaan pupuk kimia mulai terlihat dampak negatif dan efek sampingnya yang buruk terhadap kesuburan, produksi dan lingkungan. Bahan kimia sintetik yang digunakan telah merusak struktur fisik, kimia dan biologi tanah. Untuk mengembalikan produktivitas, kebun berlomba-lomba menaikkan konsentrasi pupuk kimianya, sehingga lama-kelamaan biaya operasional jadi meningkat, dan keuntungan pun semakin melorot.
Lebih dari 60% lahan perkebunan di pulau Sumatera dan Kalimantan telah mengalami degradasi kesuburan tanah yang diindikasikan oleh rendahnya kandungan bahan organik (di bawah 1%). Akibat rendahnya kandungan bahan organik ini antara lain tanah menjadi keras dan liat sehingga sulit diolah, respon terhadap pemupukan rendah, tidak responsif terhadap unsur hara tertentu, tanah menjadi masam, penggunaan air irigasi menjadi tidak efisien, meningkatnya patogen tanah seperti Ganoderma, serta produktivitas tanaman perkebunan cenderung rendah dan semakin sulit untuk ditingkatkan.
Bahan kimia yang telah over dosis digunakan untuk keperluan perkebunan, menyebabkan kondisi tanah di laan kebun sawit tidak bertambah subur, tapi malah sebaliknya, tandus dan gersang. Akumulasi racun kimia saat ini sudah mengancam kelangsungan hidup mahluk di dalam dan permukaan tanah perkebunan. Tak hanya manusia yang kena imbasnya, tapi makhluk hidup yang lain juga kena getahnya.
Dengan kecenderungan semakin tingginya biaya produksi pupuk kimia serta makin meningkatnya kesadaran manusia akan isu lingkungan, maka penggunaan pupuk kimia secara perlahan akan diminimalkan dan ditingkatkan ke penggunaan pupuk yang ramah lingkungan dan bersumber dari bahan baku terbaharui (renewable resources) seperti pupuk hayati dan pupuk organik. Pupuk hayati yang mengandung mikroorganisme sel hidup terbukti sangat efisien dalam penambahan unsur hara seperti penambatan unsur nitrogen, pelarut fospat, atau mikroorganisme solulotik. Penggunaan pupuk hayati sangat dibutuhkan sebagai solusi dalam mengurangi penggunaan pupuk kimia berlebihan yang dapat menyebabkan terjadinya polusi, pencemaran baik pada tanah dan air, terbunuhnya mikroorganisme dan matinya serangga salah sasaran, membuat tanaman lebih rentan terhadap penyakit dan menurunnya kesuburan.
Berbagai kelebihan pupuk hayati dan organik disamping terbukti meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman, juga mampu melindungi dari hama penyakit, ramah lingkungan, hemat biaya, dan unsur hara selalu terbarukan sebagai pelengkap dari pupuk kimia. Tentu kita tidak bisa menafikan kekurangan kedua jenis pupuk ini. Oleh karenanya sangat bijak jika penulis ingin menyampaikan hasil percobaan dengan mengkombinasikan kedua jenis pupuk ini dengan pupuk kimia NPK yang biasa dilakukan oleh perkebunan.