Belum genap setahun, pemerintah merevisi tarif pungutan ekspor sawit. Skema progresif dinilai memberatkan sektor hulu. Lantaran harus menanggung sekaligus bea keluar dan pungutan ekspor. Akan seperti apa revisinya?
Wacana revisi pungutan ekspor mulai digulirkan semenjak Bulan Ramadhan kemarin. Perlahan tapi pasti, harga minyak sawit naik mulai 2021. Harga CPO mencetak rekor tinggi RM 4.758 per ton pada 7 Mei lalu. Tingginya harga merupakan rekor terbaik sepanjang satu dekade terakhir.
Kendati demikian, berkah tingginya harga CPO tak sepenuhnya dinikmati pelaku usaha khususnya sektor hulu. Pasalnya, pemerintah memberlakukan bea keluar dan pungutan ekspor yang bersifat progresif. Struktur pungutan ekspor yang mengikuti harga CPO ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 191/2020 mengenai Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan.
Berlaku 10 Desember 2020, PMK 191/2020 terbilang mujarab untuk meningkatkan ekspor produk hilir sawit. Beleid ini menetapkan besaran tarif pungutan ekspor CPO (minyak sawit mentah) sebesar US$ 55/ton sebagai batas bawah. Dan batas tertinggi pungutan US$ 255/ton apa bila harga di atas US$ 995/ton.
Untuk produk antara (middle) dan hilir sawit, besaran tarif pungutan minimal US$ 25/ton. Maksimal pungutan sebesar US$ 192,5/ton jika harga di atas US$ 995/ton.
Di luar pungutan, eksportir CPO diwajibkan membayar bea keluar yang setiap bulannya ditetapkan Kementerian Perdagangan RI. Per Juni 2021, BK CPO dipatok US$ 183 per ton. Ini artinya, total pungutan ekspor dan bea keluar yang harus dibayarkan sebesar US$ 438/ton.
Berbeda dengan Malaysia, struktur pajak ekspornya tidak progresif rendah. Struktur pungutan ekspor Malaysia dimulai dari 3% untuk CPO pada MR2.250-2.400/mt, sedangkan tarif pajak maksimum ditetapkan pada 8% ketika harga melebihi MR3.450/mt. Saat ini tarif referensi Malaysia untuk bulan Juni ditetapkan pada MR4.627.40/mt ($1.116,10) yang berarti pajak ekspor sebesar MR370/mt ($89.20/mt).
Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengakui tingginya harga CPO sudah terpangkas pungutan ekspor dan bea keluar. Sebagai perhitungan, harga CPO dunia sekarang ini rerata US$ 1.200 dolar per ton. Harga sebesar ini akan terpangkas tarif pungutan sebesar US$ 255/ton dan US$ 183/ton untuk bea keluar sesuai regulasi pemerintah. Ini artinya, perusahaan yang mengekspor CPO akan menerima US$ 762 per ton.
“Dengan tarif pungutan tadi, ada opportunity lost saat harga CPO lagi bagus. Idealnya, perusahaan dapat melakukan investasi karena menikmati margin bagus,” ujar Lulusan Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada ini.
Joko mengatakan pungutan sebaiknya jangan dibebankan terlalu besar. Selain itu, besaran pungutan harus disesuaikan dengan kebutuhan program sawit. Tujuannya, perusahaan di sektor tetap dapat melakukan investasi dan tidak kehilangan kesempatan dalam rangka penyerapan tenaga kerja.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 116)