PT Surya Panen Subur (SPS) 2 melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa kebakaran gambut di Rawa Tripa bukanlah tindakan yang disengaja. Selama ini pun, perusahaan telah menerapkan pengelolaan lahan gambut yang sesuai aturan dan ramah lingkungan.
Melanjuti kasus kebakaran gambut di Rawa Tripa, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah mengajukan gugatan kepada PT SPS 2 dan PT Kalista Alam sebagai pihak yang diduga bertanggungjawab atas kebakaran tersebut. Rawa Tripa ini memiliki lahan seluas 61.803 hektare yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Proses penyidikan telah dijalankan oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Kementerian Lingkungan Hidup telah dimulai pada April 2012.
Penyidik KLH menggunakan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang meliputi beberapa pasal antara lain pasal 108 jo.pasal 69 ayat 1, pasal 116, pasal 118, dan pasal 119. Dalam pasal 69 ayat 1 disebutkan orang yang melakukan pembukaan lahan dengan cara pembakara dipidana minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun, serta denda minimal Rp 3 miliar dan Rp 10 miliar.
Sudariyono, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Penataan Hukum, mengatakan pihaknya telah mengajukan gugatan perdata PT SPS 2 ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Sebelumnya, PT Kalista Alam telah digugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada November tahun lalu, atas dugaan perusakan lingkungan hidup kawasan ekosistem Rawa Tripa. Perusahaan diduga membakar untuk pembukaan lahan.
Rivai Kusumanegara, menjelaskan sampai saat ini perusahaan belum menerima surat panggilan sidang atau surat gugatannya. “Jadi, kami belum bisa mengomentarinya sebelum menerima surat-surat tersebut,” kata Rivai dalam pesan singkatnya.
Menurut Eddy Sutjahyo Busiri, Direktur Utama PT SPS 2, tuduhan Kementerian Lingkungan Hidup kepada PT SPS 2 mengenai pelanggaran aturan pembukaan lahan gambut dan pembukaan lahan dengan cara bakar adalah tidak benar. Perusahaan mengembangkan sawit di atas lahan gambut dengan kedalaman kurang dari 3 meter. Sementara, lahan gambut yang berkedalaman lebih dari tiga meter akan dikonservasi sesuai komitmen yang tercantum dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Saat ini, telah terdeteksi lahan gambut berkedalaman lebih dari 3 meter seluas 5.000 hektare.
Rivai Kusumanegara, Kuasa Hukum PT SPS 2, menjelaskan berdasarkan fakta bahwa pembukaan lahan dilakukan sesuai Pembukaan Lahan Tanpa Bakar, karena pembukaan lahan sudah selesai dilakukan pada saat terjadi kebakaran. Kegiatan pembukaan lahan tanpa bakar ini dilakukan lewat metode imas, tumbang, dan stacking (rumpun mekanis).
Dari aspek legalitas, PT SPS 2 telah dilengkapi dengan HGU Nomor 25 seluas 7.877 hektare dan HGU No. 34 seluas 5.080 hektare yang sudah terbit sejak tahun 1997. Total luas perusahaan mencapai 12.957 hektare di Nagan Raya, Aceh. Ini berarti, HGU perusahaan telah terbit sebelum dikeluarkannya Keppres No. 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. Sesuai Pasal 6 huruf b Kepres No. 33 Tahun 1998 dan Diktum IV SK Menhut No.190/Kpts-II/2001 tentang pengesahan batas KEL. Dalam pasal 6 dan Diktum tadi, disebutkan hak atas lahan yang terlebih dahulu diberikan pemerintah di Kawasan Ekosistem Leuser sebaiknya tidak dikurangi dan tetap berlaku. “Ini artinya, HGU yang telah kami dapatkan itu mesti dihormati,” kata Eddy.
Tuduhan yang dialamatkan kepada PT SPS 2 bahwa kebakaran disengaja, bisa jadi kuranglah tepat. Sebab dari data PT SPS 2, perkebunan sawit perusahaan mengalami kebakaran juga seluas 1.183,23 hektare yang terdiri dari 666,23 hektare lahan selesai steking dan 517,03 hektare lahan tertanam.. “Jadi tidak benar kalau dikatakan ada motif kesengajaan malahan perusahaan dirugikan dengan kebakaran ini,” kata Rivai.
Untuk memperkuat fakta ilmiah di lapangan, perusahaan telah mendatangkan tim ahli dari akademisi, balai penelitian, dan kementerian. Ti m ahli ini adalah Dr. Ir. Gusti Zakaria Anshari, MES (Ahli Kebakaravwwn Hutan/Gambut Universitas Tanjungpura), Dr. Ir. Muhammad Noor, MS. (Ahli Pendayagunaan Gambut Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Badan Litbang Pertanian), Ir. I. Gede Putu Karwadi, M.Si (Kasubdit Dampak Perubahan Iklim dan Pencegahan Kebakaran, Direktorat Jenderal Perkebunan) , dan Prof. Dr. Daud M. Silalahi, S.H. (Guru Besar Hukum Lingkungan dari Universitas Padjajaran).
Rivai Kusumanegara mengatakan data ilmiah dari para ahli telah diberikan kepada penyidik KLH sebagai pembuktian penyebab terjadinya kebakaran di perkebunan sawit PT SPS 2.
Dari pengalaman Eddy Sutjahyo, baru pertama kali muncul kebakaran besar seperti yang terjadi pada 19-24 Maret 2012. Sebelumnya,memang pernah terjadi kebakaran tetapi itupun tidak sering terjadi dengan spot kecil saja sehingga dapat langsung dipadamkan. Faktor penyebab kebakaran tidak diketahui secara pasti karena bisa jadi dari aktivitas masyarakat yang memancing atau mencari kayu di sekitar di areal kebun perusahaan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan keempat ahli, kebakaran yang sporadis menunjukan tidak adanya kesengajaan. Demikian pula PT SPS 2 tidak memiliki motif membakar karena kebakaran di lahan gambut justru menimbulkan kerugian yang besar berupa terjadinya subsidence (amblasan) yang menyulitkan penyiapan lahan, dan berubahnya sifat gambut dari hydrophilic (suka air) menjadi hydrophobic (anti air).
Muhammad Noor, peneliti yang juga menjadi saksi ahli dalam penyidikan, mengatakan perusahaan menerapkan pengelolaan air (water management) dengan baik untuk mencegah kebakaran di lahan gambut lewat pembuatan pintu-pintu air atau tabat pada saluran air. “Antisipasi yang dilakukan perusahaan sudah benar karena dengan mempertahankan muka air, ini berarti mencegah gambut yang kering untuk terbakar,” kata Muhammad Noor.
Dalam penelitian Muhammad Noor, pH tanah/gambut di lahan PT SPS 2 baik yang terbakar maupun tidak terbakar berkisar 4,0 – 4, 7, hal ini menunjukkan perbedaan yang nyata yang menunjukan kebakaran tidak sempurna. Itu sebabnya, perusahaan menggunakan kapur pertanian untuk meningkatkan pH.