PT Anam Koto kian ekspansif menambah lahan dan jumlah pabrik sawit. Mengejar target IPO dalam 5 tahun mendatang.
Walaupun harga turun, Chandra Wijaya, Direktur PT Anam Koto yakin bisnis kelapa sawit tetap prospektif di masa depan. Alasannya, minyak sawit menghasilkan beragam produk turunan seperti minyak goreng, shampoo, dan kosmetik. Sekarang perkebunan sawit yang dikelola perusahaan seluas 6 ribu hektare yang berlokasi di Jambi dan Sumatera Barat. Dari luasan tadi, sekitar 4.800 hektare merupakan lahan tertanam. Sementara, sisanya masih belum tertanam.
Setiap bulan, produksi Tandan Buah Sawit (TBS) yang diperoleh perusahaan berkisar 1.700-2.000 ton per bulan. Produksi yang ini berasal dari kegiatan pemupukan dan perawatan berjalan dengan baik. Imbasnya, pabrik kelapa sawit perusahaan berjalan optimal untuk menghasilkan minyak sawit (CPO). Chandra Wijaya mengatakan setiap tahun produksi CPO PT Anam Koto mencapai 250 ribu ton yang selanjutnya dijual ke pasar domestik. Pembeli utama CPO perusahaan adalah Wilmar Grup, Musim Mas, PT Smart Tbk, dan Permata Hijau.
Ketertarikan Chandra Wijaya masuk bisnis sawit dimulai dengan meng-take over pabrik sawit di Bagan Batu, daerah Riau sekitar tahun 1997. Dari situlah, perusahaan mulai belajar berbisnis sawit dengan melakukan pembelian TBS. Setelah PKS dibeli, Chandra Wijaya, ditawari mengakuisisi kebun seluas 1.000 hektare. Chandra menceritakan proses mendapatkan kebun tidaklah mudah karena menunggu persetujuan pemiliknya. Baru 1,5 tahun berikutnya, ada keputusan menjual kebun. “Begitu setuju dijual, saya kemudian cari pinjaman kepada bank,” kata Chandra sambil tersenyum.
Chandra Wijaya mengatakan dukungan modal bisnis sawitnya sebagian besar berasal dari perbankan karena butuh dana besar untuk menjalankan kebun dan pabrik. Sebagai gambaran, investasi perkebunan sawit butuh dana sekitar Rp 50 juta-Rp 60 juta per hektare.
Dalam pandangan Chandra Wijaya, sekali terjun mengembangkan kebun sawit tidak boleh mundur lagi. Ibarat ATM, kebun sawit ini akan menarik duit terus. Meski demikian, keuntungan dari kebun lebih menarik dan cukup bagus daripada pabrik sawit. “Memang lebih bagus pabrik sawit itu, cashflow bisa berjalan dengan lancar. Sedangkan kebun, harus tunggu beberapa tahun baru dapat pemasukan,” papar Chandra yang hobi golf ini.
Untuk mengetahui perkembangan kebun sawitnya, beberapa minggu sekali dia rajin mengunjungi kebun. Tujuan lain untuk mengetahui sejauh mana hasil kerja karyawannya di lapangan. “Dari total luas lahan 5.000 hektare, ya dalam satu hari kita misalkan datangi afdeling A. Minta manajer kebun untuk membawa kita keliling kebun. Tapi mesti kita yang tunjukkan jalannya supaya tidak hanya dibawa ke kebun yang pohonnya bagus-bagus,” kata Chandra berbagi resep.
Faktor penting lain menjaga nama perusahaan dan kepercayaan di depan pihak bank. Tak heran, beberapa bank menjadi pemberi pinjaman PT Anam Koto yaitu BNI, Bank Nagari, Bank Danamon dan lainnya.
Bahkan, perusahaan seringkali ditawari kebun dan pabrik sawit yang pengembalian kreditnya sedang bermasalah untuk di-take over. Chandra menceritakan pertama kali mendapatkan kebun sawit hasil take over milik koperasi petani plasma di Muara Bungo. Lahan seluas 670 hektare tersebut ditawarkan oleh Bank Nagari. Kewajiban pembayaran kepada bank selesai dalam jangka waktu 6 tahun.
Adapula pabrik sawit berkapasitas 60 ton TBS per jam yang mengalami kredit macet. Dari BNI, kata Chandra Wijaya, pabrik tadi diambil alih dengan nilai Rp 90 miliar. Lokasi pabrik ini berada di Bagan Batu, Riau.
Jumlah pabrik kelapa sawit milik PT Anam Koto mencapai 5 unit diantaranya berlokasi di Riau ( 2 pabrik) yang total kapasitas produksi mencapai 90 ton TBS per jam. Selanjutnya, satu unit pabrik berada di Sumatera Barat dengan kapasitas produksi sekitar 34 ton TBS per jam. Satu unit di Sumatera Utara dengan kapasitas sekitar 30 ton TBS per jam. Selain itu, terdapat satu unit pabrik kelapa sawit di daerah Jambi. Tak hanya itu, perusahaan juga bermitra dengan dua unit pabrik lainnya.Total kapasitas pengolahan pabrik kelapa sawit PT Anam Koto berjumlah 300 ton per jam.
Chandra Wijaya berencana membangun satu unit pabrik kelapa sawit di Muara Bungo berkapasitas 45 ton TBS per jam yang dapat ditingkatkan menjadi 60 ton TBS per jam. Nilai investasi mencapai Rp 110 miliar yang diharapkan mulai commisioning pada akhir 2014. Dana pembangunan pabrik sebesar 70% didukung dari pendanaan Bank.
Sampai 2018, perusahaan menargetkan kepemilikan 15-16 unit pabrik kelapa sawit. Untuk tahun ini, kata Chandra, pihaknya berencana menambah tiga pabrik yang masing-masing kapasitasnya 45 ton TBS per jam yang dapat ditingkatkan menjadi 60 ton TBS per jam. “Sekarang ini, kami dalam proses menambah pabrik menjadi 11 unit,” katanya.
Bisnis kelapa sawit sangatlah prospektif karena diproyeksikan terus tumbuh positif. Chandra Wijaya mengakui omset bisnis sawitnya dapat mencapai Rp 1 triliun pada tahun lalu. Penjualan minyak sawit berkontribusi 70% untuk bisnis yang dikelolanya antara lain sparepart pabrik dan heavy equipment. “Omset ini akan naik 15%-20%. Harga CPO kelihatannya sangat bergantung kepada harga minyak kedelai juga,” papar Chandra.
Demi pertumbuhan bisnis lebih besar, PT Anam Koto memproyeksikan menjadi perusahaan Go Public ke bursa saham dalam jangka waktu 3-5 tahun mendatang. Alasannya, sumber pendanaan ekspansi perusahaan lebih mudah diperoleh lewat Initial Public Offering (IPO). Persiapan mulai dilakukan perusahaan dari segi administrasi dan melakukan konsultasi IPO ini.
Langkah lain, luas perkebunan akan ditingkatkan minimal 20 ribu hektare. Chandra mengakui kalau ingin IPO syaratnya luas perkebunan sawit harus masuk skala ekonomis. Untuk memenuhi luasan tadi, dirinya menggandeng beberapa perusahaan yang berstatus HGU sebagai afiliasi PT Anam Koto. “Tahun ini, kami diberi kepercayaan mengelola lahan seluas 2 ribu hektare di Jambi,” kata Chandra.
Bukan itu saja, armada pengangkutan CPO telah dipersiapkan untuk melayani pengiriman ke pembeli. Perusahaan telah mempunyai 50-60 unit kendaraan sehingga penjualan CPO dapat dilakukan kapanpun. Menurut Chandra,kalau armada darat sudah kuat akan beralih kepada kapal laut. Tujuannya dapat mengekspor CPO perusahaan ke negara lain.
Sekarang, sudah dilakukan perdagangan ekspor CPO sekitar 500 ton. Tapi, kata Chandra, ekspor masih melalui broker. Pertimbangannya, broker sudah kenal tipikal pembeli sehingga lebih kenal resiko. “Nah, kami ingin pelajari resikonya dulu. Jika siap, barulah kami ekspor CPO sendiri,” pungkas Chandra penuh optimis. (Qayuum Amri)