Penulis: Dr. Purwadi
(Direktur Pusat Sains Kelapa SawitI nstiper
Dewan Pakar Apkasindo)
Percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat, telah berlangsung lebih dinamis sejak 2019/2020 dan akan semakin cepat perkembangannya hingga tahun 2023. Program ini telah disambut dengan antusiasme yang luar biasa oleh petani. Percepatan realisasi program ini patut disambut dengan baik, namun perlu dipikirkan adalah upaya melanjutkan program ini untuk pemeliharaan P1 sampai dengan P3 dan setelah menghasilkan dan memperoleh sertifikat ISPO. Pertanyaan terbesarnya apakah setelah ada tanaman baru, petani memiliki kemampuan untuk melakukan pemeliharaan dengan standar ISPO. Sertifikasi ISPO bukan sekedar menyiapkan dokumen, tapi yang lebih penting adalah kegiatannya sendiri, yaitu pemeliharaan setelah P-0 (P-1 sd P-3) yang selanjutnya terdokumentasi dengan baik. Jika kita mampu membangun PSR dengan sukses maka akan dapat mengangkat kesejahteraan petani dan membangun daya saing sawit rakyat berkelanjutan.
Tantangan Program PSR Untuk Pemeliharaan P1-P3
Realitas dilapangan menunjukan bahwa hanya beberapa petani yang memiliki kemampuan untuk melakukan pemeliharaan P1-P3 sesuai baku teknis. Sebagian besar belum mampu melakukannya karena keterbatasan dana yang dimiliki. Pada umumnya keterbatasan dana ini diatasi dengan mencari pinjaman, utamanya bukan di lembaga keuangan formal. Untuk sumber pembiayaan operasional hal ini masih memungkinkan walau pun sebenarnya juga memberatkan. Namun untuk pembiayaan bersifat investasi Petani tidak mudah memperolehnya dan bahkan akan berpeluang menjadi “jeratan” yang akan menghancurkan petani, bisa-bisa tidak mampu mengembalikan dan asetnya menjadi taruhan dan pindah pemilikan. Dengan permasalahan dan tantangan diatas dikawatirkan hanya 20 % pada saatnya yang berhasil melaksanakan “best practices” dan bisa meraih sertifikat ISPO, dan bahkan sebagian diantaranya tidak mampu mempertahankan asetnya. Selain itu bila terjadi kegagalan secara umum akan berdampak pada pengurangan produksi.
KUR Khusus Kelanjutan Program PSR Bagi Pemeliharaan P1 – P3
Pemerintah telah menyediakan fasilitas tersebut melalui Kredit Usaha Rakyat Khusus (KUR khusus). Dalam praktek di lapangan ternyata pemanfaatan KUR Khusus ini masih belum terjangkau petani-petani yang belum “berdaya” yang selayaknya justru perlu memperoleh bantuan fasilitas ini. Tantangan utama belum bisa diwujudkan fasilitas ini adalah persyaratan perlunya avalis dalam sebuah kemitraan dan mendorong petani untuk malakukan kemitraaan satu atap. Kemarin dan hingga saat ini kemitraan ini adalah sebuah kegiatan yang gampang diucapkan tapi sulit diwujudkan. Ada kecenderunagn adanya asismetry kekuatan dalam membangun kemitraan. Permintaan jaminan dari lembaga keuangan adanya avalis dan jaminan pengelolaan pengusahaan standar “best practices” atau di dalam praktek disebut sebagai kemitraan satu atap tentu sulit diwujudkan. Perkembangan menunjukkan bahwa Petani saat ini sudah sangat paham dan juga mampu melakukan tata kelola yang baik terhadap kebunnya, petani melalui kelembagaan petaninya juga ingin membangun kemandirian bidang usaha, yaitu melakukan budidaya terhadap kebunnya baik secara mandiri mau pun dalam kelembagaan petani. Maka kemitraan yang diinginkan petani bisa bersifat fleksibel, bisa dalam pembelian in put, kegiatan-kegiatan tertentu, dan yang utama adalah pembelian tandan buah segar dengan harga wajar. Saat ini setidaknya yang dibutuhkan Petani melalui kelembagaan petaninya adalah jaminan untuk diterimanya hasil panen untuk diolah dengan harga yang wajar sesuai ketetapan.
Saat ini program KUR itu ada yang sudah bisa diakses beberapa petani mapan, petani yang rata-rata seperti pengusaha UMKM sawit dengan pemilikan lebih dari 10 hektar dengan trust yang dimilikinya sudah dapat mengakses KUR khusus ini. Tapi bukankah KUR ini justru dibutuhkan untuk membantu mereka yang belum mapan utamanya pekebun-pekebun kecil dengan pembiayaan yang kurang. Hal ini menjadikan adanya gap antara idealisme untuk membantu petani sebagai pengusaha tanaman sawit dengan realita dilapangan. Apa bila Petani dipikirkan belum siap, maka menjadi tugas pemerintah sebagai administrator pembangunan perkebunan untuk membantu menyiapkannya.
Petani Sawit Generasi Kedua Yang Berbeda
Petani sangat memahami tata kelola perbankan dalam konsep kehati-hatian. Namun perkembangan “pekebun sawit” sudah berubah, sudah tumbuh Petani sawit generasi baru dan berbeda, yaitu pekebun millenal dan juga pekebun lama yang sudah melek teknologi, mereka sangat memahami arti keterbukaan dan pertanggung jawaban. Sekarang sudah tumbuh kesadaran baru dan tidak ingin melakukan “moral hazard”, sehingga Lembaga Keuangan dan stake holder lainnya juga perlu mulai merubah “mindset” bahwa Petani sawit saat ini sudah sangat adaftif, respon terhadap perubahan, respon dan paham terhadap perkembangan regulasi, dan respon terhadap perkembangan teknologi. Oleh karena itu Petani sawit akan mudah dan ingin selalu mengikuti perkembangan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 105)