JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah memberikan berbagai kemudahan kepada petani sawit untuk mempercepat realisasi Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Kemudahan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan ((Ditjenbun) dan BPDPKS (badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit) antara lain penyederhanaan persyaratan dan verifikasi calon peserta PSR. Ternyata kemudahan jika tidak diikuti koordinasi dengan stakeholder di tingkat provinsi kabupaten kota jika tidak komitmen untuk percepatan PSR dengan target 500 ha, akan sia-sia dengan berbagai terobosan dan kemudahan tersebut.
“Percepatan PSR ini harus dan segera dipacu oleh semua stakeholder yang selama ini terkesan lambat. Karena itu, kami berikan kemudahan dari aspek administrasi dan teknis pelaksanaan. Tidak segan-segan kami lakukan evaluasi serta langkah perbaikan PSR ini,” ujar Kasdi Subagyono, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, Selasa (19 Mei 2020).
Hal ini diungkapkan dalam Diskusi Webinar yang diadakan DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) bertemakan “Kebijakan Percepatan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR)” yang menghadirkan pembicara lainnya yaitu Anwar Sunari (Direktur BPDP-KS) dan Mayjen TNI (Purn) Erro Kusnar, SIP (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, KSP RI).
Diskusi ini diikuti 248 peserta dari 117 Kab, 22 Prov perwakilan Apkasindo dan diikuti akademisi dari berbagai kampus serta pengamat di bidang industri sawit.
Kasdi mengatakan tantangan PSR ini sangat beragam di lapangan diantaranya banyak kelompok tani mengembalikan dana kepada BPDP-KS karena tidak sanggup menjalankan replanting. Ini ada apa, “ujar Kasdi.
“Persoalan tadi membuat target semakin lambat tercapai, lantaran proses sebelumnya (pengajuan) sudah lama. Ditambah lagi mereka tidak jadi meremajakan kebunnya, jelas Kasdi.
Dari pemetaan, dikatakan Kasdi, sedang diselesaikan peta tematik berdasarkan komposisi kepemilikan swasta, negara, dan rakyat. Selanjutnya didasarkan kriteria tanaman menghasilkan dan belum menghasilkan. Adapula peta tematik menurut umur tanaman dan berdasarkan data kebun di dalam kawasan hutan dan non kawasan, semua ini sedang dikebut untuk dipaduserasikan.
“Termasuk pemetaan potensi target peremajaan 2,7 juta hektar ini apakah itu statusnya di APL atau dikawasan hutan lainnya, memang status kawasan lahan pekebun adalah kendala penting yang menjadi salah satu faktor penghambat target PSR ini,” ujarnya.
Kasdi mengakui pihaknya akan membantu daerah sentra sawit yang punya komitmen tinggi untuk menjadi peserta PSR. Jika kepala daerahnya berkomitmen kuat, maka kami dorong segera replanting, namun ada kalanya terhambat oleh kepala dinas terkait, sekalipun kepala daerahnya ngebut.
Besarnya tantangan di lapangan mengakibatkan target PSR setiap tahun belum pernah terwujud. Pada 2018, dari target 185 ribu hektare yang dapat direalisasikan 33. 842 hektare (18,29%). Selanjutnya tahun 2019, dilakukan perbaikan mekanisme dan prosedur sehingga realisasi PSR dapat meningkat menjadi 88.412 hektare.
Kantor Staf Presiden RI menunjukkan sederet tantangan yang dihadapi untuk merealisasikan target PSR ini. Erro Kusnara mengatakan tantangan yang dihadapi antara lain rumitnya prasyarat dan panjangnya prosedur pengajuan PSR, masih adanya sejumlah intervensi di daerah, kurangnya tenaga pendamping di daerah, lambatnya proses pengerjaan pekerjaan peremajaan sawit setelah penandatangan tiga pihak.
Memang diakui bahwa persyaratan PSR sudah banyak dipangkas setelah Pak Kasdi Subagyono menjadi Dirjen Perkebunan. “Namun saya berpesan tetap fokus mengawal percepatan ini, sebab masih banyak ketidaksesuaian antara pusat dengan daerah, khususnya di kabupaten kota,” ujarnya.
Erro Kusnara mengingatkan pemangku kepentingan di daerah karena KSP “memelototi” program ini, jangan sampai mempersulit dengan berbagai modus. “Jangan coba-coba bermain, ini Program Strategis Presiden, amanah Presiden tegas dan jelas yaitu PSR bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan petani sawit.”
Erro mencontohkan terdapat pekerjaan PSR di suatu daerah yang sudah mencapai 80% tapi Dinas Perkebunan setempat malah memberikan rekomendasi tidak membayar ke bank penyalur.
“Kami berharap persoalan yang dihadapi di lapangan dapat diselesaikan dan diharmonisasi supaya PSR ini bisa berhasil dan target Presiden mampu terwujud 500 ribu hektare dalam tiga tahun mendatang,” jelasnya.
“Ada saya dengar laporan dari petani beberapa provinsi bahwa dinas terkait ada yang bermain dan cenderung memperlambat, saya minta supaya hentikan semua itu, sebelum terlambat”, tegas Erro.
Dikatakan Kasdi, pihaknya mengakui hasil evaluasi KSP RI telah dilakukan sejumlah perbaikan seperti penyederhanaan syarat peremajaan. Periode 2017-2018, jumlah persyaratan mencapai 14 item. Lalu dikurangi menjadi 8 item pada 2019 dan tahun ini, persyaratan dipangkas menjadi 2 item yaitu kelembagaan dan legalitas lahan. Termasuk penyederhanaan verifikasi peserta PSR yang sudah menggunakan aplikasi online saat ini cukup satu kali oleh tim terintegrasi pusat, daerah, dan Kabupaten, ujar Kasdi sedari berharap tahun ini capaian PSR lebih baik dari tahun lalu meskipun dalam suasana pandemi Covid-19.
Evaluasi kami bahwa rekomendasi teknis dan transfer dana bukan indikator keberhasilan PSR. Tetapi bagaimana bisa terealisasi penanaman di lapangan. “Dari data kami sekitar 20 persen yang baru tertanam di lapangan dari realisasi penyaluran dana PSR, ini menjadi catatan penting buat kami, idealnya selaras. Karena replanting ini merupakan kunci bagi pengembangan industri strategis seperti sawit, ” jelasnya.
Anwar Sunari, Direktur BPDP-KS menjelaskan bahwa PSR harus dilakukan secara bersama semua stakeholder untuk mencapai target 500 ribu hektar dalam tiga tahun mendatang. Pengembangan PSR online idealnya memberikan hasil maksimal bagi peningkatan rekomendasi teknis. Dirjen Perkebunan sudah memberikan dukungan penuh atas program ini dimana BPDPKS sangat merasakan itu.
“Kami terus berinovasi menyempurnakan sistem online PSR, baik dari aspek sistem dan transparansinya, ” ujar Anwar.
Saat ini, BPDP-KS sedang proses seleksi lembaga surveyor PSR untuk mencari peserta PSR dan mendampingi mereka. Ditjenbun akan meminta lembaga surveyor ini untuk memetakan calon lahan peremajaan seluas 75 ribu ha. Anwar mengatakan lembaga surveyor tetap berkoordinasi dengan dinas serta berharap asosiasi-asosiasi petani berperan untuk membantu surveyor.”Setelah lebaran akan ada lembaga surveyor yang ditunjuk,” ujarnya.
Upaya pemerintah mempermudah syarat PSR bagi petani sangat diapresiasi DPP APKASINDO. Gulat Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO mengatakan petani Sawit Indonesia harus menjadi petani setara dengan memaksimalkan kesempatan PSR ini. Karena jarang ada komoditas tanaman lain di Indonesia yang menerima hibah sebesar Rp 25 juta per ha melalui BPDP-KS sebagai badan layanan umum.
Untuk itu, Gulat menghimbau kepada petani sawit, ayo raih dana tersebut, atau tidak akan pernah lagi selamanya, “now or never”. Cara meraihnya sangat sederhana cukup melampirkan Kelembagaan Petani (Kel Tani, gapoktan atau KUD) dan Legalitas Lahan (SKT dan sejenis atau SHM) seperti kata Pak Kasdi.
“Sudah cukup banyak kemudahan yang diberikan pemerintah, dalam hal ini Dirjenbun dan BPDPKS seperti pemangkasan 14 tahapan persyaratan, lalu dipangkas tinggal 8, dan sekarang sudah tinggal 2 persyaratan lagi. Ini sangat sederhana dan terjangkau sama petani, ” papar Gulat.
Gulat mengapresiasi sinergi baik antara Dirjenbun dengan Dirut BPDPKS yang baru sangat serasi dalam memacu percepatan PSR 500 ribu ha. “Keduanya punya sifat yang sama yaitu ligat dan mendengar, kami sangat mengapresiasi kinerja pejabat negara seperti itu.”
Gulat menuturkan, “Kalau soal ada hambatan atau kendala saya pikir tinggal niatnya petani/kelompok tani karena hibah tadi tetap itu harus dipertanggungjawabkan. Wajar saja ada persyaratan, jadi petani jangan hanya mengeluh tapi harus move on “pungkas Gulat.
Gulat mengusulkan adanya tenaga pendamping dari Pusat bagi petani yang akan dan sedang PSR. Tenaga pendamping tidak harus dari Disbun setempat. Dengan penunjukan pendamping dari BPDPKS/Dirjenbun, apabila ada kecurangan atau ‘hambatan’ alarm langsung bunyi. Pendamping PSR pusat tadi bisa cepat melaporkan melalui Call Center seperti misalnya Call Center Operator. Karena petani sangat awam dengan proses administrasi dan SPJ, beda dengan petani plasma yang melekat dengan Perusahaan Inti.
“Tenaga pendamping ini bisa dengan memanfaatkan alumni Beasiswa BPDPKS D1 Taruna Kelapa Sawit Indonesia, yang per tahun 2019 sudah menghasilkan 1700 alumni dari 5 kampus terbaik di Indonesia bidang perkebunan,” ujar Gulat.
Gulat menuturkan soal rekanan PSR memang harus ditertibkan, dibuatkan standar calon rekanan, demikian juga dengan struktur RAB PSR harus ada patokan panduannya, tidak bisa sesuka hati membuat satuan harga di tiap item pekerjaan. Coba cek RAB PSR di beberapa lokasi PSR, sangat beragam, ini berpotensi menaikkan biaya PSR per hektar, akibatnya dana pendamping dari yang 25 juta akan membengkak.
“Ujung-ujungnya petani peserta PSR yang menanggung melalui hutang di bank mitra. Demikian juga dengan bibit sawit yang akhir-akhir ini jadi sorotan media, harus dibeli dari produsen kecambah resmi, peserta PSR harus kontrak langsung ke produsen kecambah,” ujar Gulat yang juga Auditor ISPO ini.