JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) berjalan tersendat-sendat di tahun ini. Sampai Mei 2022, realisasi kegiatan PSR baru 0,88% atau sekitar 1.540 hektare. Masalah legalitas dan klaim kawasan hutan di kebun petani menjadi hambatan utama. Program strategis Presiden Jokowi terancam gagal.
Rino Afrino, Sekjen DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menjelaskan bahwa tantangan kegiatan PSR diantaranya persyaratan yang harus dipenuhi petani berkaitan keterangan bebas kawasan hutan, bebas HGU, dan validasi NIK sebagaimana rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan RI.
“Tantangan berat lainnya adalah legalitas lahan. Memang legalitas lahan menunjukkan petani sawit kalau dilihat dari SK Kehutanan dinyatakan dalam kawasan hutan. Walaupun sudah mengikuti program transmigrasi semenjak 30 tahun lalu. Lalu telah memiliki generasi keturunan di lahan tersebut. Bahkan kawasan tersebut telah menjadi kampung dengan memiliki fasos dan fasum. Tapi Kementerian LHK tetap mengklaim dalam kawasan hutan,” ujar Rino dalam webinar bertemakan “Permasalahan Lahan dan Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit”, Kamis (1 September 2022).
Rino menegaskan bahwa kegiatan masyarakat tadi bukan berarti sengaja merambah hutan tetap sudah ada disana semenjak puluhan tahun lalu.
Dalam studi kasus permasalahan lahan yang dialami petani sawit salah satunya KUD Raharja Tani Jaya. Petani yang transmigran sejak tahun 1986 dan sudah memiliki SHM sejak tahun 1991 pada lahan seluas 255,82 ha. Namun berdasarkan overlay kawasan hutan, ternyata lahan sawit petani anggota KUD Raharja Tani Jaya masuk dalam kawasan areal Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 239,89 ha atau hampir 93,77%.
Mekanisme penyelesaian kebun masyarakat dalam kawasan hutan belum dapat memberikan solusi dan kepastian hukum. Sebagai contoh, penyelesaiaan melalui PP Nomor 23/21 tentang Penyelenggaraan Kehutanan mewajibkan petani harus menunjukkan bukti kepemilikan kebun di atas 25 tahun apabila ingin dibebaskan dari kawasan hutan.
Apabila di bawah 20 tahun, lahan petani masuk ke skema perhutanan sosial.”Ini menjadi aneh bagaimana lahan milik kita bisa menjadi areal perhutanan sosial. Di sisi lain, pola perhutanan sosial tidak mengakui kelapa sawit di lahan perhutanan sosial. Akibatnya, petani sawit tidak bisa ikut PSR,” urainya.
Rino mengatakan tidak adanya kepastian hukum bagi lahan inilah yang menjadi momok bagi petani sawit untuk meneruskan kegiatan budidayanya.
“Masalah lain yang menganggu petani dalam PSR adalah syarat bebas gambut. Padahal, kebun petani kerap kali berada ditempatkan di lahan marginal seperti gambut, bukan berada di tanah super subur. Kalau ini diterapkan, petani yang berada di lahan gambut tidak bisa mengajukan dana PSR,” urainya.
Rino menegakan ada tiga dampak nyata Perkebunan Sawit Rakyat yang terindikasi masuk dalam Kawasan hutan, diantaranya petani sawit rakyat terancam tidak bisa lagi ikut program peremajaan sawit rakyat (PSR) dan SARPRAS yang dicanangkan oleh Presiden dan Wakil Presiden.
Kedua, petani sawit rakyat terancam tidak bisa mengikuti program sertifikasi ISPO sebagai syarat masuk ke pasar. Ketiga, ketahanan energi berupa program Biodiesel oleh Bapak Presiden terancam berhenti.