• Beranda
  • Rubrik
    • Analisis
    • Artikel
    • Berita Terbaru
    • Edisi Terbaru
    • Event
    • Hama Penyakit
    • Hot Issue
    • Inovasi
    • Kinerja
    • Oase
    • Palm Oil Good
    • Pojok Koperasi
    • Profil Produk
    • Sajian Utama
    • Seremoni
    • Sosok
    • Tata Kelola
  • Tentang Kami
  • Susunan Redaksi
  • Hubungi Kami
Facebook Twitter Instagram
Jumat, 3 Februari 2023
Trending
  • Bentuk Ekosistem Logistik Nasional
  • Harga Referensi CPO Turun, Periode Februari 2023
  • DLHK Riau Minta Perusahaan Siaga Karhutla
  • Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, Sebagai Bentuk Komitmen Provinsi Sumatera Barat
  • Ibu Negara dan Oase-KIM Dukung Penguatan Pangan Nasional
  • GAPKI Bermanfaat Untuk Semua
  • Kapasitas Terpasang Pembangkit EBT 2022 Lebihi Target
  • Akibat Banjir Panen TBS Tertunda
Facebook Instagram Twitter YouTube
Majalah Sawit Indonesia OnlineMajalah Sawit Indonesia Online
Subscribe
  • Beranda
  • Rubrik
    • Analisis
    • Artikel
    • Berita Terbaru
    • Edisi Terbaru
    • Event
    • Hama Penyakit
    • Hot Issue
    • Inovasi
    • Kinerja
    • Oase
    • Palm Oil Good
    • Pojok Koperasi
    • Profil Produk
    • Sajian Utama
    • Seremoni
    • Sosok
    • Tata Kelola
  • Tentang Kami
  • Susunan Redaksi
  • Hubungi Kami
Majalah Sawit Indonesia OnlineMajalah Sawit Indonesia Online
Home » Prof. Sudarsono: Indonesia Dalam Jebakan Penyakit dan Kutukan Kehutanan
Berita Terbaru

Prof. Sudarsono: Indonesia Dalam Jebakan Penyakit dan Kutukan Kehutanan

By RedaksiSeptember 18, 20214 Mins Read
WhatsApp Facebook Twitter Telegram LinkedIn Pinterest Email
prof sudarsono ipb
prof sudarsono ipb
Share
WhatsApp Facebook Twitter Telegram LinkedIn Pinterest Email

JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Terdapat celah yang lebar terhadap prinsip-prinsip dalam pemanfaatan tanah nasional. Penyimpangan terjadi sudah sampai menghambat kepentingan berbagai sektor dan sudah pada level membahayakan pembangunan negara. Persoalan ini disampaikan Prof. Sudarsono Soedomo, Ph.D dalam Sidang Orasi Ilmiah berjudul “Ekonomi Politik Pertanahan Indonesia: Forest Curse Dan Forestry Disease” di Grha Wisuda, Kampus IPB Dramaga, Bogor, Sabtu (18 September 2021).

“Pembangunan pertanian tanpa didahului penataan agraria akan menghasilkan wajah pertanian yang sejadinya. Kesejahteraan petani sulit diangkat akibat skala usaha terlalu kecil. Kehendak pembenahan agraria selepas dari masa penjajahan ditandai lahirnya UU Pokok Agraria Nomor 6 Tahun 1960 (red-UUPA). Sampai hari ini UUPA belum dapat dijalankan sepenuhnya,” Prof. Sudarsono yang akrab dipanggil Gus Dar.

Ia melanjutkan bahkan 2/3 tanah di Indonesia tidak mengikuti UUPA. Ada “negara dalam negara” yang diawali UU Nomor 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan (UUPK).

“Ringkasnya, ada dualisme kelembagaan dalam ekonomi politik pertanahan Indonesia. Ini mengakibatkan dampak luar biasa hingga hari ini hingga beberapa dekade yang akan datang,” ujarnya.

Dampak paling dahsyat dari persoalan tersebut adalah ketimpangan alokasi tanah di Indonesia. Yakni 64 persen tanah Indonesia dikuasai dan dipergunakan secara eksklusif oleh sektor kehutanan dan sisanya 36 persen dipergunakan untuk berbagai keperluan. 

Baca juga :   Kebijakan yang Berpihak kepada Petani, Meningkatkan Ekonomi

Sebagai perbandingan, alokasi untuk hutan produksi mencapai 68 juta hektar. Sedangkan, luas sawah beririgasi sebagai penghasil makanan pokok hanya 7 juta hektar, ini yang saya sebut sejadinya.

Namun, banyak dari areal diklaim hutan produksi dalam keadaan tidak berhutan.  Celakanya, kemampuan menghutankan kembali tidak ada usaha dan disaat yang bersamaan sektor lain tidak dapat menggunakannya.

“Semboyan digunakan kurang lebih seperti ini lebih baik dipakai sektor kehutanan yang tidak berhutan walaupun tidak produktif daripada digunakan sektor lain yang memberikan kemakmuran lebih besar,” ujar pria kelahiran Banyuwangi ini.

Prof. Sudarsono mengatakan penguasaan tanah di sektor kehutanan yang begitu dominan tidak disertai kemampuan mengelola lebih baik. Ini terbukti, setengah dari tanah yang dialokasikan bagi sektor kehutanan digunakan sebagai kawasan budidaya yang menyumbang kurang dari 1% Produk Domestik Bruto (PDB).

“Terjadi inefisiensi penggunaan tanah yang sangat luar biasa. Ibarat kapal posisi Indonesia sangat miring sehingga berbahaya di Samudra luas. Padahal daya muat masih memadai,” ujarnya.

Menurutnya, banyak kebijakan di sektor kehutanan yang menambah banyak biaya tetapi tidak disertai banyak manfaat. Hampir setiap langkah memerlukan banyak perizinan kehutanan. Di lapangan, hutan alam semakin menyusut tetapi hutan industri tidak mampu berkembang.”Masalah ini harus dihentikan supaya tidak memberikan dampak luar biasa dan semakin sulit diatasi terutama menyangkut ketahanan pangan nasional. Kepentingan negara harus diutamakan daripada kepentingan sektor,” urainya.  

Baca juga :   ID FOOD, Menargetkan Pendapatan di Tahun 2023 Sebesar Rp.17 Triliun

Prof Sudarsono menceritakan bahwa pada periode akhir Orde Lama hingga awal Orde Baru, ekonomi Indonesia sangat terpuruk. Pemerintah perlu dana tunai yang cepat dan segera mendorong investasi.

Ketika itu, kecuali Pulau Jawa, sebagian besar permukaan tanah semua pulau masih ditutupi oleh hutan alam primer. “Kayu dalam hutan sangat berlimpah. Investasi penebangan kayu meningkat pesat dan negara memperoleh uang tunai dengan cepat. Hutan alam menjadi mesin uang ketika itu,” katanya.

Dengan ilusi hutan alam yang melimpah, dikatakan Prof.Sudarsono, dan menjadi mesin uang yang melimpah secara berkelanjutan maka banyak areal diklaim sebagai “kawasan hutan”. Ternyata semua itu hanya ilusi. Setiap upaya memperbaiki alokasi tanah demi pembangunan agar lebih efisien selalu menghadapi resistensi yang luar biasa dari yang namanya wilayah kehutanan.

“Inilah penyakit kehutanan yang saya maksud (red-forest disease). Akibatnya, hutan alam yang dahulu melimpah menjadi sebuah kutukan (red-forest curse). Banyak pemukiman dan tanah rakyat yang terperangkap di dalamnya. Ada kampung terbentuk sebelum Indonesia merdeka lalu diklaim masuk kawasan hutan yang penting diatas kertas hutan,” imbuhnya.

Sudarsono mengatakan masalah ini mengakibatkan rakyat hidup dalam ketidakpastian. Hukum dan peraturan harus ditegakkan termasuk kepada pemerintah sendiri.

Baca juga :   Gunakan B35, Isuzu Berikan 3 Tips Perawatan Kendaraan

“Dalam persoalan kawasan hutan, pelanggaran perundangan justru dilakukan pemerintah sendiri. Di berbagai konflik tenurial, (kementerian kehutanan) justru menjadi pemain utama. Sumbangan terhadap kemakmuran sangat kecil. Tetapi sumbangan terhadap konflik tenurial semakin besar,” ujar dosen IPB University dari Departemen Manajemen Hutan ini.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Prof Sudarsono memberikan jalan keluar dari kemelut agraria ini. Pertama, pemanfaatan lahan harus menjadikan sebesar-besar kemakmuran rakyat (sesuai Pasal 33 UUD 1945). Kedua, menyusun tataruang dengan melibatkan semua sektor sebagai keputusan politik negara untuk memilah tanah menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya.

“Ketiga, mengkontestasikan penggunaan tanah pada kawasan budidaya yang memberi kebebasan kepada penggunanya untuk menentukan usahanya. Ke empat, menempatkan urusan tanah pada lembaga non-sektor atau non-teknis. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terbatas hanya mengurus hutan saja (yang ada tanaman hutannya). Kelima, reforma agraria perlu diperluas ke reforma industri pertanian primer agar ada sumber pendapatan baru bagi petani dan negara,” pungkasnya.

Related posts:

  1. KLHK Harus Bertanggungjawab Atas Kerusakan Tesso Nillo
  2. Guru Besar IPB Beberkan 6 Fakta Diskriminasi Terhadap Kelapa Sawit
  3. KLHK Cabut Izin Konsesi di Kawasan Hutan, Prof Budi: Ada Kekosongan Hak Lahan, Itu Rawan Sosial
  4. Fakultas Kehutanan IPB Rekomendasikan Sawit Sebagai Tanaman Hutan
ipb kutukan kehutanan prof sudarsono soedomo
Share. WhatsApp Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Email Telegram

Related Posts

Bentuk Ekosistem Logistik Nasional

15 jam ago Berita Terbaru

Harga Referensi CPO Turun, Periode Februari 2023

16 jam ago Berita Terbaru

DLHK Riau Minta Perusahaan Siaga Karhutla

17 jam ago Berita Terbaru

Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, Sebagai Bentuk Komitmen Provinsi Sumatera Barat

18 jam ago Berita Terbaru

Ibu Negara dan Oase-KIM Dukung Penguatan Pangan Nasional

19 jam ago Berita Terbaru

Kapasitas Terpasang Pembangkit EBT 2022 Lebihi Target

21 jam ago Berita Terbaru

Akibat Banjir Panen TBS Tertunda

22 jam ago Berita Terbaru

Gunakan BSF, Korindo Fasilitasi Pengolahan Limbah Organik Pertama di Indonesia

22 jam ago Berita Terbaru

Era Baru BBN, Indonesia Siap Implementasikan B35

23 jam ago Berita Terbaru
Edisi Terbaru
Edisi Terbaru

Cover Majalah Sawit Indonesia, Edisi 135

Redaksi SI4 hari ago1 Min Read
Event
Event

Talkshow Sawit Indonesia Award 2022

Redaksi2 bulan ago1 Min Read
Latest Post

Bentuk Ekosistem Logistik Nasional

15 jam ago

Harga Referensi CPO Turun, Periode Februari 2023

16 jam ago

DLHK Riau Minta Perusahaan Siaga Karhutla

17 jam ago

Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, Sebagai Bentuk Komitmen Provinsi Sumatera Barat

18 jam ago

Ibu Negara dan Oase-KIM Dukung Penguatan Pangan Nasional

19 jam ago
WhatsApp Telegram Facebook Instagram Twitter
© 2023 Development by Majalah Sawit Indonesia Development Tim.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

Go to mobile version