Tanaman sawit mempunyai benefit tinggi bagi kehidupan manusia. Mempunyai peranan sebagai penyerap karbondioksida sampai penghasil biomassa. Tapi, mengapa sawit terus dipojokkan bahkan dituding penyebab utama deforestasi?
Prof. Chairil Anwar Siregar, Peneliti Pusat Litbang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan ada pemahaman keliru apabila penyebab deforestasi ditujukan kepada industri sawit. “Penyebab utama deforestasi bukan sawit. Saya sudah melakukan riset untuk membuktikan itu,” imbuhnya.
Chairil memaparkan dari 100 persen kerusakan hutan, hanya empat persennya yang digunakan untuk lahan perkebunan sawit. “Masa 96 persen banding empat persen itu dianggap deforestasi. Itu kan keliru. Kecuali, Kalau sawitnya 40 persen, hutannya 60 itu baru deforestasi,” ucap Chairil.
Chairil menjelaskan, potensi biomass sawit Indonesia bisa mencapai 182 juta ton bahan kering yang dapat dijadikan bioetanol dan biogas. Potensi tadi apabila diolah menjadi etanol mencapai 23 juta kilo bioetanol per tahun. Diolah menjadi biogas memiliki potensi produksi 4,120 juta m3 biogas.
Dalam hal penyerapan karbondioksida, Chairil mencontohkan akumulasi biomass untuk akasia untuk 100 ton per hektare diperlukan 10 tahun. Sedangkan, akumulasi biomass Sawit untuk mencapai 100 ton per hektare, memerlukan 14 tahun. “Tapi, sawit ditebang 25-30 tahun sekali, sedangkan akasia atau pinus 5-10 tahun. Secara akumulatif sawit lebih unggul,” ungkapnya dalam Diskusi Forum Sawit Indonesia Berdaulat yang diadakan Majalah SAWIT INDONESIA bertemakan “Membedah Kepentingan Tersembunyi Dibalik Resolusi Sawit Eropa”, pada 9 Mei 2017 di Jakarta.