Berkenaan dengan karut marutnya ketidak pastian hukum di Indonesia. Prof. Budi Mulyanto menyebutnya dengan istilah jungle of regulation setelah melakukan kajian pada 2014-2015.
Dari hasil kajian Prof. Budi Mulyanto, ada beberapa akibat yang ditimbulkan dari ketidak pastian hukum. Pertama, banyak terjadi permasalahan agraria (sengketa, konflik dan perkara agraria/pertanahan. Kedua, perkembangan ekonomi nasional menjadi lamban. Ketiga, lapangan kerja sulit dikembangkan, pada hal angkatan kerja terus meningkat sehingga banyak pengangguran. Keempat, Indonesia peringkat 109 di Ease of Doing Bisnis (EODB) terendah di ASEAN (2016).
Dijelaskan Prof. Budi, definisi omnibus law merupakan metode yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut ketentuan dalam UU, atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam UU kedalam satu UU (tematik).
“Omnibus law di negara lain, telah banyak diterapkan di berbagai negara dengan tujuan untuk memperbaiki regulasi di negaranya masing-masing dalam rangka penciptaan lapangan kerja (job creation) serta meningkatkan iklim dan daya saing investasi,” jelasnya.
Manfaat penerapan Metode Omnibus Law mempermudah, menyederhanakan proses dan meningkatkan produktivitas dalam penyusunan peraturan. Omnibus Law sebagai strategi reformasi regulasi agar penataan dilakukan sekaligus terhadap banyak peraturan perundang-undangan.
Data dari Kemenkumham (23 Jan 2020) terdapat 8.451 Peraturan Pusat dan 15.965 Peraturan Daerah yang menggambarkan kompleksitas regulasi di Indonesia. Secara terminology, Omnibus Law berasal dari Bahasa Latin yang berarti untuk semuanya. Dalam konteks hukum, omnibus law adalah hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu Undang-Undang yang mengatur banyak hal.
Prof. Budi mengatakan ada sejumlah kluster berkaitan kelapa sawit. Pertama klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha, berkaitan dengan izin lokasi (perizinan dasar), perizinan lokasi menggunakan peta digital (RDTR (Rencana Detail Tata Ruang). RDTR ini menjadi kunci untuk administrasi. Kemudian, pengintegrasian Rencana Tata Ruang (matra).
Kedua, klaster Pengadaan lahan tujuannya untuk mempercepat proses pengadaan tanah dalam kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf dan tanah asset. Kementerian ATR/BPN membantu instansi yang memerlukan tanah, dalam menyusun DPPT (dokumen perencanaan pengadaan tanah). Jangka waktu berlakunya penetapan lokasi (penlok) diberikan selama tiga tahun dan dapat diperpanjang tanpa memulai proses dari awal. Kepemilikan saham dan lahan pengganti sebagai bentuk ganti rugi pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 110)