Produk berlabel palm oil free ( bebas minyak sawit) tidak boleh diberikan tempat di Indonesia. Pemerintah telah memiliki serangkaian aturan yang secara tegas melarang peredaran produk tersebut.
“Tidak hanya di luar negeri. Produk berlabel bebas minyak sawit juga ditemukan di dalam negeri,” kata Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam seminar webinar yang digelar INA palm oil bertemakan “Misleading Food Labeling Threaten Palm Oil Market”, pertengahan September 2020.
Joko Supriyono mengatakan ada pula produk skala rumah tangga dan kecil juga yang ikut-ikutan menempelkan label bebas minyak sawit ini. Sejak 2016 lalu sudah ditemukan sejumlah produk dengan label tersebut dan sempat dipermasalahkan.
Ada pula temuan bahwa sejumlah produk impor dengan label tersebut banyak dijual di market place. Oleh karena itu ia mengharapkan adanya tindak lanjut dan pengawasan atas kejadian semacam itu.”Nantinya, kejadian ini akan banyak. Kita harus jaga karena produk makanan yang dilabeli palm oil free ini bertentangan dengan kepentingan nasional. Apa lagi sawit ini merupakan penyumbang devisa terbesar,” ujar Joko.
Dari kalangan industri makanan, Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Stefanus Indrayana menjelaskan meski produk sawit terus digempur dengan banyak kampanye negatif, masalah labelisasi tidak mengganggu industri makanan dan minuman. Kendati demikian Stefanus mengaku khawatir bentuk kampanye itu akan diterima masyarakat, terutama kalangan milenial, sehingga menyebabkan salah persepsi.
Dari semua produk makanan di pasar, 50 persennya menggunakan minyak sawit. Ini jauh lebih tinggi dari penggunaan minyak canola, minyak bunga matahari (sunflower) atau pun minyak kedelai. Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, menurut dia sudah seharusnya pemerintah lebih tegas dalam memberi sanksi terhadap oknum nakal tersebut.
“Banyak kasus yang terjadi di Indonesia murni karena ketidak tahuan pelaku usaha bahwa pelabelan tersebut melanggar hukum dan dapat diganjar hukuman administrasi. Dibutuhkan edukasi soal label ini (kalau tidak) terutama kaum milenial akan timbul salah persepsi soal sawit,” katanya.
“Label palm oil free yang dicantumkan dalam produk baik makanan mau pun obat-obatan, sudah banyak beredar, termasuk di Indonesia khususnya untuk produk impor. Memang label POF itu impor terutama dari Eropa. Kita belum tahu secara detail pencantuman label apakah inisiatif Eropa atau dari pihak lain. Dampaknya, pencantuman POF ini bisa mengganggu keberlangsungan pasar sawit Indonesia, di pasar global dan domestik. Pelabelan ini juga termasuk kampanye hitam untuk melawan produk kelapa sawit,” kata Mahendra Siregar Wakil Menteri Luar Negeri RI dalam seminar tersebut.
Mahendra Siregar menuturkan pencantuman label POF ini akan berdampak negatif pada masa depan sawit Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia. Untuk itu, pelabelan POF tidak boleh dibiarkan. Terkait pencantuman label POF pada produk makanan dan obat-obatan itu, Kementerian Luar Negeri pun berupaya terus memantau perkembangannya dan berkoordinasi dengan Malaysia. Jika dinilai sudah membahayakan maka Indonesia akan mengambil sikap dan menuliskan surat proteske WTO.
Dijelaskan Mahendra, label Palm Oil Free telah digunakan sebagai false advertisement karena klaim bahwa produk dengan label tersebut lebih sehat dan ramah lingkungan. Klaim terkait lingkungan telah terbukti salah, dengan data yang menunjukkan tingkat penggunaan tanah dan air untuk produksi minyak sawit lebih sedikit apa bila dibandingkan dengan minyak nabati lainnya; sementara klaim terkait kesehatan dapat terbantahkan dengan fakta bahwa minyak sawit mengandung asam oleat dan lino leat yang tergolong asam lemak tidak jenuh, serta vitamin A dan E sebagai antioksidan.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 107)