JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Utak-atik regulasi yang mengatur minyak goreng mengakibatkan ketidakpastian dan kerugian yang harus ditanggung para pelaku usaha. Praktisi hukum Dr. Hotman Sitorus, S.H., M.H mengatakan mencium adanya keanehan dengan penetapan pengusaha minyak goreng sebagai tersangka. Sebut saja terkait kaburnya perumusan unsur perbuatan melawan hukum, kerugian perekonomian keuangan negara dan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain.
“Selain itu, kerugian negara yang dihitung dari beban yang ditanggung pemerintah berbentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) Tambahan Khusus Minyak Goreng untuk 20,5 juta rumah tangga tidak mampu akibat kelangkaan dan mahalnya minyak goreng,” ucapnya melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi SawitIndonesia.com pada Rabu (24 Agustus 2022)..
“Ini tentu hal yang baru dan cukup membingungkan. Di mana subsidi yang diberikan pemerintah kok malah menjadi kerugian negara,” imbuh Hotman.
Terdakwa PTS diduga melakukan perbuatan melawan hukum dalam pengurusan Persetujuan Ekspor (PE) CPO dan produk turunannya sebanyak 41 ijin yang berasal dari 7 perusahaan Grup Musim Mas, yakni PT Musim Mas, PT Musim Mas-Fuji, PT Intibenua Perkasatama, PT. Agro Makmur Raya, PT Megasurya Mas, PT Wira Inno Mas. Selanjutnya, PTS dianggap telah menguntungkan atau memperkaya perusahaan sebesar Rp626,6 miliar.
Selain itu, PTS juga didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp1.107.900.841.612,08 dan merugikan perekonomian negara senikqi Rp3.156.407.585.578,00,-. “Dalam dakwaan, PTS disebutkan dalam mengurus PE dengan menggunakan dokumen yang dimanipulasi. Tidak sesuai dengan realisasi distibusi kebutuhan dalam negeri. Selain itu, dianggap melanggar domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DMO),” kata Hotman.
Lebih lanjut, Hotman menambahkan, untuk memperoleh perizinan ekspor (PE) crude palm oil (CPO) dari Kementerian Perdagangan dibutuhkan persyaratan yang ketat. Setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi.
Pertama ada realisasi purchase order. Jadi industri bisa mengeluarkan ekspor minyak goreng DPO dan DMO itu kalau ada purchase order dari pembeli. Kedua, harus jelas pengirimannya itu ada, di-print order. Ketiga, eksportir harus menyerahkan faktur pajak pembeli. Baru kemudian Kemendag bisa mengluarkan surat PE. Prosedur semacam itu tentu susah dimanipulasi. Itu bukan elektronik tapi hardcopy. Jadi harus ada bukti-buktinya.
“Jadi penetapan tersangka yang dilakukan Kejagung tidak cukup pembuktiannya. Dia menampik pengusaha mencoba mendekati penjabat dalam hal ini adalah Kementerian Perdagangan untuk mendapatkan izin ekspor,” jelasnya.
Kepanikan terjadi di kalangan pelaku usaha saat Kejaksaan Agung menetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag dan tiga orang pelaku usaha sawit sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit (CPO) dan produk turunannya kepada empat perusahaan yang dianggap tidak memenuhi persyaratan DMO (domestic market obligation) sebesar 20%.
Ketiga petinggi di perusahaan minyak yang dijadikan tersangka yakni Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor; dan General Manager PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang. Setelah itu giliran Lin Che Wei alias Weibinanto Halimdjati selaku Penasehat Kebijakan / Analisa pada Independent Research & Advisory Indonesia menjadi tersangka baru kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya.