JAKARTA, SAWITINDONESIA – Pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla diminta meninjau ulang Peraturan Pemerintah (PP) Gambut No 71 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Aturan ini dinilai akan membawa 6 juta jiwa rakyat Indonesia ke garis kemiskinan karena mempersulit penggunaan gambut bagi kepentingan ekonomi.
Data Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) menunjukkan dari 1,5 juta hektare perkebunan sawit di lahan gambut terdapat 40% yang dikelola masyarakat kecil. Ini berarti, pengentasan kemiskinan dan pembukaan lapangan kerja di pedesaan yang menjadi bagian program pemerintahan baru akan terganggu.
San Afri Awang Kepala Badan Litbang Kemenhut menyebutkan diperkirakan ada 6 juta jiwa yang termasuk pada kemiskinan relatif pasca terbitnya PP gambut. Pemberlakuan PP baru itu dipastikan akan memperberat perwujudan nawa cita pemerintaham Joko Widodo-Jusuf Kalla.”Kami menampung dan siap memfasilitasi soal keberatan terhadap PP gambut yang muncul dari berbagai pihak,” kata Awang.
Hal ini mengemuka dalam diskusi kelompok terfokus tentang tindak lanjut PP gambut yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan di Bogor , Kamis (23/10/2014). Hadir dalam kesempatan tersebut perwakilan dari instansi pemerintah, akademisi dan pakar gambut, pelaku usaha dan LSM.
Fahmuddin Agus Peneliti Badan Litbang Pertanian, memaparkan muncul keberatan dari berbagai pihak terhadap PP gambut lantaran mematikan kegiatan budidaya pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Dalam aturan tersebut, pasal krusial mengenai penetapan 30% luas lahan dari kawasan hidrologi gambut sebagai fungsi lindung dan larangan adanya saluran drainase. Ketentuan yang dinilai paling mustahil adalah soal penetapan batas bawah muka air 0,4 meter dari permukaan gambut. “Dengan muka air ditetapkan 0,4 meter dibawah permukaan gambut, akan mengurangi produktivitas hasil panen,” kata dia.
Supiandi Sabiham, Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI), menjelaskan revisi pada PP gambut bisa dilakukan dengan mengubah ketentuan soal batas muka air gambut. Dia menyarankan, tinggi rendah muka air gambut diatur oleh masing-masing kementerian sesuai dengan komoditas yang dibudidayakan. “Jadi secara teknis akan berbeda soal ketinggian muka air di Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian,” kata Supiandi.
Begitupula dikatakan Rismansyah Danasaputra, anggota Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), bahwa pemberlakuan PP Gambut tidak sesuai dengan kondisi tanaman tanaman perkebunan jika muka air tanah ditetapkan 0, 4 meter. Sebab, tanaman perkebunan setidaknya membutuhkan muka air tanah 0,5-0,6 meter. “Sebaiknya, tinggi muka air tanah dalam aturan tersebut diatur sesuai kebutuhan masing-masing sektor,” pungkas dia. (Qayuum)
Sumber foto : www.greenpeace.org