Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) mengungkapkan Peraturan Pemerintahan (PP) tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang tertuang dalam PP 71/2014 jo.PP 57/2016 berpotensi menganggu investasi pada sektor kehutanan dan perkebunan lebih dari Rp 277,32 triliun.
“Saat ini, total investasi industri hulu dan hilir kehutanan dan investasi hulu dan hilir perkebunan yang dibiayai pinjaman dalam negeri mencapai Rp 83,75 triliun dan pinjaman luar negeri senilai Rp 193,57 triliun,” kata peneliti LPEM-UI DR Riyanto di Jakarta.
Riyanto berpendapat, pembangunan infrastruktur yang digagas Presiden Jokowi menjadi tidak bermanfaat jika masih ada regulasi yang menakutkan bagi investor yang sudah dan akan berinvestasi.
Pemerintah Jokowi giat menarik investasi dengan membangun infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, listrik, energi dan air bersih. Bahkan di tingkat daerah, pemprov berlomba menarik investasi dengan inovasi perizinan satu pintu, reformasi birokrasi, perbaikan regulasi investasi dan pembangunan kawasan industri.”Sayang jika pembangunan infrastruktur yang tengah dikebut Presiden Jokowi menjadi sia-sia karena regulasi yang menakutkan tetap dipertahankan,” kata Riyanto.
Riyanto memaparkan, pemerintahan Jokowi mencatat banyak pencapaian dalam kemudahan berinvestasi. Bank Dunia misalnya, menaikkan peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia dari peringkat 106 pada 2015 menjadi peringkat 91 pada tahun 2016. “Survei ini tidak main-main karena dilakukan di 193 negara di kawasan Asia Pasifik,” kata dia.
Pencapaian lain kata Riyanto yakni naiknya komitmen Indonesia naik pembayaran utang luar negeri. S&P Global Ratings, satu lembaga pemeringkat internasional bergengsi,menilai utang luar negeri jangka panjang Indonesia membaik jadi BBB-dari BB. “Ini berarti Indonesia dikategorikan sebagai negara layak investasi. Keberhasilan itu perlu didukung dengan regulasi yang pro dunia usaha. Jangan sampai karena kepentingan sesaat, tatanan investasi yang sudah baik menjadi rusak,” kata Riyanto.
Pernyataan senada dikemukakan Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo. Dia mengingatkan, pemerintah harus merevisi regulasi yang bisa menghambat pertumbuhan investasi pada sektor unggulan seperti sawit. “Pemerintah jangan mau dibodohi. Upaya memojokkan industri sawit sebagai penyebab kebakaran hutan di lahan gambut merupakan konspirasi negara pesaing minyak nabati untuk melemahkan sendi perekonomian bangsa,” kata Firman.
Sebagai contoh, kata Firman, kebakaran yang meluas pada tahun ini justru didominasi kawasan hutan terbuka (open access) yang menjadi tanggung jawab pemerintah.”KLHK jangan terlalu sibuk mendengar suara LSM. Perbaikan tata kelola hutan harus jadi prioritas perbaikan.”
Firman menyarankan pemerintah perlu membentuk lembaga baru yang khusus menangani masalah kebakaran. “BNPB nantinya bisa fokus pada penanganan bencana seperti banjir, gempa bumi dan lain-lain. Sedangkan penanganan kebakaran sebaiknya ditangani badan atau lembaga tersendiri agar efektif,” kata Firman.
Pemerintah juga tidak perlu gengsi untuk studi banding ke korporasi yang punya tata kelola gambut yang baik. Hal ini karena korporasi besar di industri sawit telah menghabiskan dana miliaran dolar untuk melakukan riset teknologi pengaturan air di lahan gambut. “Penerapan teknologi tata kelola yang tepat dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan sangat diperlukan agar investasi di lahan gambut berkelanjutan dan kebakaran bisa dicegah,” Kata Firman.