“Gliserol sebagai produk samping bisa digunakan untuk mendukung kebutuhan energi,” ujar Dr.Ir. Tatang Hernas Soerawidjaja, Dosen Fakultas Teknologi Industri (FTI) Institut Teknologi Bandung (ITB).
Produk Gliserol dibutuhkan berbagai industri manufaktur dan pangan seperti obat-obatan, bahan makanan, kosmetik, pasta gigi, industri kimia, larutan anti beku, dan tinta printer, dan lain – lain. Saat ini, kebutuhan gliserol di Indonesia masih diiimpor dari luar negeri. Untuk itu, kesempatan industri hilir sawit terutama yang menggunakan gliserol masih terbuka luas. Dengan adanya hasil penelitian gliserol yang terus dikembangkan oleh pakar kimia memberikan peluang yang besar untuk mengembangkan industri strategi di Indonesia baik sektor energi dan non energi.
Hal ini diungkapkan Dr. Tatang Hernas Soerawijaja saat menjadi pembicara diskusi yang diadakan Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) dan Majalah Sawit Indonesia, pertengahan November lalu, di Jakarta. Menurut Tatang Hernas Soerawidjaja sebelum tahun 1990 gliserol diproduksi oleh industri oleokimia maupun petrokimia karena memang banyak sekali kegunaannya. Dari data yang ada menujukkan beragam penggunaan-penggunaan klasik untuk gliserol di antaranya industri farmasi 18%, Polyether/Polyols 14%, Perusahaan kosmetik 16%, makanan 11%, triacetin 10%, (alkyd resins 8%, Tobacco 6%, deterjen 2%, cellophane 2%, explosies 2%), industri lain 11%.
“Namun memasuki abad 21 hanya diproduksi oleh industri oleokimia sebagai produk ikutan atau turunan. Terutama di industri asam-asam lemak maupun industri sabun serta biodiesel dan ester metal asam-asam lemak,” ujar Tatang.
Tatang Hernas menambahkan gliserol murni (min.99,5%) telah memiliki ribuan penggunaan klasik yang digunakan pada industri. Namun, dengan banyaknya produksi biodiesel dan biohidrokarbon membuat dunia “kebanjiran” gliserol.
“Gliserol yang dihasilkan dari proses produksi biodiesel berwarna gelap dan mengandung 60-80% gliserol dengan pengotor-pengotor sabun, katalis, alcohol, dan trigliserida, oligomer gliserol, polimer-polimer dan lain-lain. Kendati berwarna gelap, gliserol relatif mudah dimurnikan,” tambahnya.
Menurut Tatang, untuk menjadi gliserol murni minimal 99,5% konsentrat. Tetapi ongkosnya mahal sehingga hanya pabrik-pabrik besar saja yang bisa melakukannya. Sementara pabrik-pabrik biodiesel yang relatif kecil membutuhkan penggunaan-penggunaan industril untuk gliserol kasar.
Sejalan dengan perkembangan industri yang hanya memanfaatkan gliserol kasar dan menghasilkan turunan yaitu “limbah” yang hanya dibakar. Karena itu, dikatakan Tatang terdapat beberapa usulan diantaranya dapat digunakan untuk kompos, pakan ternak dan dikonversi menjadi termokimia serta dapat juga dikonversi menjadi biokimia (fermentasi) menjadi ethanol dan hidrokarbon.
Tatang yang juga Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI) menjelaskan beberapa proses gliserol yang dijadikan produk seperti hydrogenolysis menjadi propene untuk plastik, cyclization (glycerol carbonate, cyclic acetals, Epichlorohydrin), Oxydation menjadi glycerine acid dan masih banyak jenis gliserol yang dijadikan bahan untuk produk lainnya.
“Inilah macam-macam pengembangan gliserol yang dilakukan peneliti. Mudah-mudahan pemerintah bisa menangkap peluang ini, kita tidak punya perencanaan teknologi sebagai suatu bangsa menciptakan teknologi yang dibutuhkan. Maka harus ada keputusan teknologi apa yang akan kita beli dan teknologi apa yang akan dikembangkan sendiri. Kemungkinan teknologi yang dikembangkan hanya sebesar 5% dari yang dibutuhkan. Tetapi karena kita tidak punya sehigga bisa mengusulkan segala macam teknologi,” jelasnya.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 98)