Walaupun, pasokan vitamin A diperoleh dari luar negeri. Kalangan produsen yakin harga jual minyak goreng tetap stabil pasca pemberlakuan fortifikasi vitamin A. Lebih diharapkan, produksi vitamin A dari dalam negeri.
Tidak adanya produsen vitamin A di dalam negeri menyebabkan produsen minyak goreng harus membelinya dari luar negeri. Pilihan impor inilah yang kurang disepakati pemangku kepentingan industri sawit karena akan berimbas kepada pemborosan biaya produksi. Alasannya, kandungan vitamin A dalam minyak goreng sebenarnya cukup tinggi hingga 6000 IU untuk setiap 100 gram. Sayangnya, proses de-odorasi dari CPO ke minyak goreng akan mengurangi vitamin A bahkan dapat hilang sekaligus.
Drajat Martianto, Anggota Koalisi Fortifikasi Indonesia, membeberkan dari penelitian yang dilakukannya untuk beberapa sampel minyak goreng ternyata jumlah vitamin A cukup rendah. Dalam minyak goreng tersebut, kadar vitamin A rata-rata 2IU-15 IU. Untuk meningkatkan jumlah kandungan vitamin A perlu diberikan fortifikan yang berupa vitamin A sintetis. “Vitamin A ini memang berasal dari luar negeri karena belum ada yang produksi di Indonesia,” kata Drajat.
Benny Wahyudi, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, menyatakan impor bisa saja dilakukan karena tidak ada industri dalam negeri yang menghasilkan vitamin A. “Toh, kapsul vitamin A yang disalurkan Kementerian Kesehatan, itu juga mesti impor,” kata Benny.
Sebagai gambaran, konsumsi minyak goreng masyarakat mencapai 4 juta ton. Untuk setiap 3.000 ton akan memerlukan 80 kilogram vitamin A. Dengan harga vitamin A yang sekitar US$ 70 per gram, akan didapat nilai impor vitamin A mencapai US$ 7,5 juta atau berkisar Rp 75 miliar setiap tahun.
“Nilai impor vitamin A tadi tidak sebanding dibandingkan produk pangan impor seperti gandum yang sekitar Rp 30 triliun per tahun. Tapi, kenapa isu fortifikasi terlihat besar sekali masalahnya? “Tanya Drajat.
Sedangkan, Gabungan Industri Minyak Nabati (GIMNI) mengkalkulasi nilai impor vitamin A akan lebih tinggi sampai Rp 525 miliar per tahun. Angka ini diperoleh dari konsumsi minyak goreng yang sebesar 3,5 juta ton. Maka, diperlukan 175 ton vitamin A per tahun. Sedangkan harga vitamin A diperkirakan Rp 3 juta per kilogram. Sehingga didapatkan nilai impor berjumlah Rp 525 miliar per tahun.
Purwiyatno Hariyadi memaparkan produsen minyak goreng perlu mewaspadai lonjakan harga vitamin A, kalau fortifikasi berjalan. Karena, perusahaan sudah pasti akan mencarinya guna mematuhi kewajiban. Dalam pandangannya, kisruh fortifikasi ini berasal dari definisi SNI 7709-2012 mengenai minyak goreng sawit. Akibat terdapat kata penambahan vitamin A sehingga produsen wajib melakukannya. “Untuk itu, sebelum fortifikasi menjadi mandatori sebaiknya diubah dulu definisinya,” ujar Purwiyatno Hariyadi.
Yang membuat fortifikasi banyak dikecam akibat pasokan vitamin A berasal dari luar negeri. Padahal, secara alami minyak sawit mengandung vitamin A bernilai tinggi antara 550 ppm-600 ppm dan kandungan vitamin E sebanyak 800-1.000 ppm. Kebutuhan vitamin A dapat diperoleh dari dua produsen terbesar yaitu BASF dan Roche.
BASF, perusahaan kimia terbesar di dunia, berperan pula dalam kampanye melawan malnutrisi dan kekurangan unsur mikro. Dalam kampanyenya, BASF menggandeng lembaga seperti Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN)yang memiliki pakar terkait program gizi. Seperti diinformasikan dalam www.article13.com , GAIN akan membantu BASF dengan memilih perusahaan partner lokal yang dibutuhkan dalam pengembangan kapasitas serta menghasilkan produk sesuai teknologi fortifikasi.
Proyek Kenya yang salah satunya diluncurkan pada 2002 dengan fokus produksi minyak nabati di dalam negerinya. Proyek ini merupakan bagian dari kerjasama BASF dan GAIN. Dalam program ini dilakukan pelatihan kepada karyawan di proses fortifikasi makanan terkait gizi. Setelah itu dibuat konferensi multi pemangku kepentingan yang bekerjasama dan terlibat pada fortifikasi makanan. Pasca konferensi dibuatlah National Food Fortification Alliance yang dibentuk untuk menyelesaikan road map dan tujuan termasuk pelabelan. Tak hanya itu, program ini juga memfortifikasi tiga produk minyak dan lemak hingga akhir 2006.
Dari tinjauan investasi, teknologi fortifikasi diperkirakan tidak akan berpengaruh besar terhadap harga jual minyak goreng. Tambahan investasi, kata Drajat, untuk setiap kilogram minyak goreng paling Rp 20 per kilogram. Secara maksimal dapat mencapai Rp 50 per kilogram sudah termasuk biaya pengawasan kualitas tenaga kerja dan listrik. Nilai investasi sebesar ini tidak akan berpengaruh besar terhadap harga jual minyak goreng yang bergerak di kisaran Rp 9.000-Rp 10.000 per kilogram terutama kalau diterapkan serempak.
Rendahnya investasi ini pula yang membuat GIMNI sepakat dengan rencana penambahan vitamin A untuk minyak goreng, Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, dengan tegas mendukung pengkayaan vitamin A di dalam minyak goreng untuk mendukung pemenuhan gizi masyarakat. Dari perhitungannya, penambahan biaya fortifikasi berkisar Rp 500 per kilogram. Oleh karena itu, harga jual minyak goreng tidak akan melonjak tinggi pasca fortifikasi diterapkan.
Mustafa Daulay mengakui penambahan biaya untuk fortifikasi vitamin A sebanyak 45 IU/g pada minyak goreng adalah sekitar Rp 30-50 per kg. Dalam kategori minyak goreng dalam kemasan (branded cooking oil), penambahan biaya ini tidaklah terlalu signifikan dibandingkan harga jual minyak goreng yang berkisar Rp 8000 – Rp 12000 per kg.
Sahat Sinaga lebih mengharapkan betakaroten vitamin A dapat diproduksi di dalam negeri, ketimbang impor. Langkah ini sebenarnya dapat dilakukan melalui kerjasama dengan perusahaan biodiesel. Setelah fortifikasi berjalan, ujar Sahat, peluang investasi produksi betakaroten akan terbangun karena pasarnya sudah terbentuk. (Qayuum)