JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Petani mulai khawatir dengan anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) semenjak libur lebaran sampai sekarang. Di sejumlah daerah, harga TBS bergerak di bawah Rp 1.000 per kilogram.
Di Kecamatan Ketahun, Bengkulu Utara, harga TBS petani bahkan dihargai Rp 500 per kilogram. Agus Widodo, petani sawit swadaya, menceritakan harga buah sawit di daerahnya anjlok menjadi Rp 500 per kilogram. Turunnya harga disebabkan petani sedang panen raya. “Makanya banyak truk TBS antri masuk pabrik sawit,” ujarnya dalam grup komunitas Klinik Sawit, pada awal Juli kemarin.
Kondisi serupa terjadi di Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur, setelah Idul Fitri harga merosot menjadi Rp 900 per kilogram. Padahal, sehari sebelum lebaran harga masih Rp 1.050 per kilogram.
Anizar Simanjuntak, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), mengakui terjadi penurunan harga buah sawit lebih banyak dialami petani swadaya ketimbang petani plasma. Petani swadaya merupakan petani non mitra perusahaan. Itu sebabnya, tidak ada jaminan harga bagi petani swadaya karena tanpa ikatan kerjasama.
“Kami minta pemerintah khususnya dirjen perkebunan untuk memperhatikan persoalan harga. Supaya ada solusi bagi petani,”kata Anizar ketika dijumpai di kantor Kemenko Maritim, Kamis 12 Juli 2018).
Menurut Anizar, anjloknya harga menyebabkan petani kesulitan membeli pupuk. Lantaran, harga beli TBS petani di hanya bergerak di kisaran Rp 500-Rp 700 per kilogram.
Berbeda dengan petani yang sudah bermitra dengan PKS langsung seperti KKSR, revitbun dan plasma.”Mereka terima harga sesuai dengan ketetapan oleh provinsi,”ujar Arfani seperti dilansir dari Bangka Pos.
Gulat Manurung, Ketua DPW APKASINDO Provinsi Riau, menawarkan solusi jangka panjang supaya petani diberikan akses kemudahan dalam pembangunan pabrik sawit. Kehadiran pabrik sawit ini sangat penting untuk menjaga harga TBS stabil di tingkat petani.
“Saat ini, pabrik sawit hanya dimiliki pihak swasta perusahaan. Akibatnya, harga tetap dikontrol sama mereka. Ini karena belum ada pabrik yang dikelola petani,” ujarnya.
Gulat menuturkan, ke depan tidak boleh ada lagi petani buah sawit. Tetapi harus ada perubahan menjadi petani CPO (minyak sawit).