JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Dr. Tungkot Sipayung, Direktur Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) mengkritisi semakin lambatnya Peremajaan Sawit Rakyat yang menjadi program strategis pemerintahan Joko Widodo. Padahal, program ini dinilai memberikan dampak multiganda kepada petani dari aspek ekonomi dan produktivitas.
“Dana tersedia, petani ada, lahannya siap tetapi realisasi PSR jauh dari harapan. Sejak dari 2017, sy minta supaya ada percepatan bagi program ini,” kata Tungkot saat menjadi pembicara Focus Grup Discussion (FGD) bertemakan“Penguatan Kemitraan Dalam Pelaksanaan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk Kesejahteraan Pekebun”, Kamis (13 Oktober 2022).
Padahal sewaktu pembangunan kebun sawit pada era 1980 dan 1990an, Lahan belum tentu siap termasuk dana. Apalagi sumber daya manusia seperti Petaninya. Namun, kebun sawit dapat terbangun sedemikian pesat.
Dalam presentasinya, lima tahun berjalan PSR, realisasi PSR pada akhir tahun 2021 baru mencapai sekitar 256.5 ribu hektar (berdasarkan luas rekomendasi teknis) atau 242,1 ribu hektar (berdasarkan transfer dana PSR dari BPDPKS). Realisasi tersebut masih sekitar 32 persen dari target PSR pemerintah dan hanya 19 persen dari target PSR best practices perkebunan.
Tungkot menguraikan empat masalah utama percepatan Peremajaan Sawit Rakyat. Pertama, masalah legalitas kebun sawit rakyat (SKT, SK Kawasan, STBD, dan lain-lain). Kedua, berkaitan keengganan pekebun karena hilangnya income dan pekerjaan petani pada masa replanting/PSR (TBM).
Ketiga, kemampuan Pekebun dan kelembagaannya dalam proses pengajuan PSR. Keempat, berkaitan keterbatasan kapasitas dalam proses keputusan Rekomtek.
Tungkot mengatakan semakin lambatnya realisasi PSR karena petani diwajibkan memenuhi surat keterangan bebas gambut dan tidak tumpang tindih dengan HGU (Hak Guna Usaha).