Penulis: Dr Purwadi (Direktur Pusat Kajian Kelapa Sawit Instiper)
Petani sawit menjadi pihak yang secara langsung dan cepat memperoleh dampak ekonomi dari kebijakan larangan ekspor sawit. Psikologi pasar saat ini telah menurunkan harga penjualan TBS yang secara bertahap dengan proses cepat. Bahkan pada kasus gejolak harga dari input produksi juga memperoleh dampak yang cepat. Kenapa hal ini terjadi?. Petani terjepit pada sebuah kondisi dua pasar yang memaksa mereka harus mengikutinya. Pada pasar jual-beli harga TBS petani menghadapi pasar “oligopsoni” dimana pembeli yaitu PKS memiliki daya tawar yang lebih kuat dan memiliki peluang melakukan praktek kartel atau monopoli, demikian di pasar jual-beli input misal pupuk dan kimia pertanian lainnya, mereka menghadapi struktur pasar “oligopoli”, dimana penjual memiliki daya tawar yang lebih kuat dan memiliki peluang melakukan praktek kartel atau monopoli.
Dengan demikian petani sawit menjadi pihak yang paling lemah dan rentan terhadap gejolak di pasar agro input maupun penjualan TBS. Memang beberapa petani punya kerjasama kemitraan dengan perusahaan inti dan atau PKS. Tetapi jumlahnya baru sekitar 7 % dari total luasan sekitar 6,4 juta hektar kebun petani. Pada kasus petani bermitra maka petani relatif lebih lambat dan lebih ringan menerima dampak karena struktur pasar bilateral monopoli, dimana kekuatan daya tawar relatif seimbang.
Posisi petani dengan pasar yang demikian, jika harga agroinput naik maka harga di tingkat petani akan dengan cepat naik secara instan. Namun jika harga agroinput turun (walaupun jarang terjadi), maka harga di tingkat petani turun berjalan lambat. Pada kasus pasar jual-beli TBS, terjadi sebaliknya dimana pada saat TBS naik, kenaikan di tingkat petani berjalan lebih lambat dan bertahap, namun saat harga turun akan langsung menurunkan harga di tingkat petani secara cepat dan instan. Sungguh petani memang perlu memperoleh perhatian dan dukungan pemerintah.
Bagaimana dengan posisi petani saat terjadi kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan mentahnya? Larangan ekspor akan membuat suplai produksi CPO melimpah yang akan berdampak pada harga yang turun. Produksi CPO kita setidaknya sekitar 48 juta ton/ tahun atau pro rata sekitar 4 juta ton per bulan, sebelum terjadi kebijakan larangan ekspor maka sekitar 2,5 juta ton diekspor. Angka itu sudah di luar serapan konsumsi dalam negeri baik untuk biodiesel maupun minyak goreng. Adanya larangan ekspor maka kita harus menyerap tambahan suplai 2,5 juta ton di pasar dalam negeri.
Jika kebijakan ini untuk kebutuhan menggelontorkan suplai minyak goreng, sebenarnya kebutuhan konsumsi hanya sekitar 340 ribu ton/ bulan, atau saat lebaran barangkali naik menjadi 400 ribu ton/bulan? Artinya tambahan serapan konsumsi untuk kebutuhan minyak goreng hanya berkisar 40 ribu ton? Namun kebijakan ini telah menahan 2,5 juta ton? Untuk menambah serapan pasar dalam negeri barangkali bisa untuk meningkatkan produksi biodiesel, kebetulan harga minyak mineral sedang tinggi, sehingga subsidi biodisel rendah atau bahkan mungkin tidak perlu subsidi, sebagai gambaran serapan biodiesel kita berkisar 750 ribu ton/bulan.
Bagaimana jika produksi tidak terserap di pasar di dalam negeri? Maka akan terjadi kelebihan suplai dan akan menyebabkan harga turun? Penurunan harga ini akan langsung berdampak kepada pendapatan petani.
Dampak kebijakan ini sudah dirasakan petani ketika harga TBS sudah turun sekitar Rp 500-Rp 1500 rupiah/Kg. Walaupun kebijakan itu belum efektif berlaku bahkan Permendagnya belum terbit. Hal ini merupakan kondisi psikologi pasar karena belum jelasnya perkembangan meningkatnya serapan pasar dalam negeri. Maka diprediksi terjadi penumpukan dan fasilitas tangki penampungan CPO dan olahan minyak goreng akan segera penuh, harga diprediksi akan turun dalam waktu cepat. Selanjutnya pabrik sawit secara bertahap mengurangi pembelian dan menurunkan harga TBS karena resiko rugi, dimana kalau beli harga TBS dengan harga mahal tapi setelah dijual harga CPO rendah?
Jadi ini perilaku normal ekonomi industri. Jika dilihat dari kemampuan “storage” baik tangki timbun CPO dan juga industri hilir, maka kalau 2,5 juta ton tidak terserap maka “storage” diprediksi hanya akan mampu menampung sekitar 15 hari kedepan? Bisa diprediksi pabrik PKS akan mengurangi aktifitas produksi dan beberapa mungkin berhenti sementara.
Bagaimana dengan pembelian TBS petani? Tentu harga sangat rendah dan bahkan resiko tidak terjual. Jadi kalau kebijakan ini berlangsung lebih satu bulan diprediksi petani sudah akan kehilangan penghasilan, dan bagi petani kecil ini menjadi kemunduran kesejahteraan yang sebenarnya baru mereka nikmati selama setengah tahun terkahir. Petani juga menjadi repot, karena harga agorinput yang naik sangat tinggi, dan ini mengikuti harga pasar dunia dimana di pasar dunia harga agroinput memang sedang naik sangat tinggi.
Hal ini membuat petani tidak melakukan pemeliharaan tanaman dengan baik, dan secara agronomi akan berdampak sangat buruk dalam produksi jangka panjang. Kalau hal ini terjadi dalam waktu yang lama, maka masa depan petani sawit dipertaruhkan. Bahkan petani sawit barangkali akan mulai merasakan dampak ini selepas lebaran, dimana TBS harganya akan rendah bahkan resiko tidak terbeli. Sebuah ironi dari kondisi euforia menjadi kesusahan, apalagi petani yang kemarin sudah terlanjur melakukan investasi untuk kebutuhan usaha perkebunan secara kredit. Petani sangat merasakan perlakukan yang kurang adil.
Sebagai akibat kebijakan ini petani merasa harus berkorban, dan korbanan ini dinikmati oleh petani negara tetangga penghasil sawit lainnya. Mereka berpikir suplai di pasar dunia akan berkurang, harga sawit akan naik atau setidaknya terjaga harga tinggi dan petani produsen negara lain yang menikmatinya.
Bagaimana membantu petani dalam kondisi demikian? Pemerintah dapat membantu petani setidaknya dalam penyediaan agroinput yang tersedia tepat waktu dan terjangkau harganya, melalui subsidi. Subsidi agroinput, pupuk dan agro kimia lainnya dapat dilakukan menggunakan dana pungutan ekspor yang dihimpun BPDPKS melalui program bantuan sarana dan parasarana.
Dengan demikian pemeliharaan tanaman petani terjaga dan tidak berdampak pada produksi jangka panjang. bagimanapun petani menyadari bahwa perintah sedang repot untuk mencari solusi komprehensif multi dimensional kelangkaan minyak goreng yang sudah campur aduk kepentingan bisnis, politik dan sosiologi. Namun kita tentu berharap kebijakan ini tidak berlangsung lama, kita berpacu dengan waktu jam, bukan harian lagi, sebelum semuanya terlambat.
Harusnya penyelesaian masalah carut-marut ekonomi minyak goreng sawit ini sangat sederhana.