JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Petani sawit mengeluhkan semakin tidak terkendalinya kenaikan harga pupuk sepanjang 6 bulan terakhir. Akibatnya, pupuk sebagai variabel biaya produksi (HPP) ikut terangkat kendati harga TBS sawit sedang bagus sekarang ini.
“Laporan dari petani sawit APKASINDO di 22 provinsi. Kenaikan harga pupuk ini merata baik NPK dan tunggal. Kalau harga pupuk tidak terkendali, biaya produksi dipastikan semakin tak terkendali juga,” ujar Rino Afrino, Sekjen DPP APKASINDO melalui sambungan telepon, Selasa (31 Agustus 202).
Kenaikan ini terjadi untuk harga pupuk hampir disemua loco gudang produsen pupuk. Contohnya, harga pupuk NPK Pelangi Pupuk Kaltim naik 72% dari Rp5.5490/kg menjadi Rp7500/kg. Begitupula pupuk NPK Mahkota Wilmar naik sekitar 69% dari Rp5.400/kg menjadi Rp7790/kg.
Prof.Dr. Almasdi Syahza, Ketua LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) Universitas Riau menjelaskan bahwa pupuk (variable cost) berkontribusi 60% bagi komponen biaya produksi sawit. Kalau terus naik, keuntungan petani semakin terpangkas bahkan mengarah minus. Saat ini harga TBS sawit sedang tinggi, kondisi ini merangsang petani untuk memupuk. Apabila petani enggan memupuk karena harganya sudah mahal. Imbasnya hasil panen kebun petani bisa turun dalam satu tahun ke depan.
“Dari informasi kami kumpulkan, kenaikan harga pupuk ini sudah dari produsennya, jadi bukan permainan distributor. Alasan produsen atas kenaikan ini karena terjadi kenaikan harga bahan baku yang sebagian besar diimpor. Pertanyaan kami, bahan baku apa yang naik, apakah semua bahan baku pupuk itu di impor?” tanya Almasdi.
Faktanya tidak semua bahan baku pupuk diimpor. Lalu mengapa kenaikannya diatas ambang normal? Almasdi mengatakan lalu seperti apa nasib petani tanaman pangan dan hortikultura yang kenaikan harga produksinya tidak setinggi kelapa sawit. Karena, secara makro kenaikan harga pupuk akan mempengaruhi NTP Petani dan tentu ini berdampak negatif terhadap multiplier effect kelapa sawit.

Rino mengatakan dari laporan petani Sumut, harga pupuk NPK naik menjadi Rp11.000/kg. Di Mukomuko, Bengkulu, harga KCl semula tertinggi Rp 280 ribu per sak, sekarang sudah mencapai Rp490 ribu per sak dan pupuk urea sudah mencapai Rp390 ribu per sak.
Sementara itu di Kalimantan Selatan, harga pupuk NPK formula 15-15-15 juga naik antara Rp7.500-Rp8.500/kg.
Rino menjelaskan kenaikan harga pupuk ini cukup berat bagi kami perani. Kalaupun naik idealnya 10-15% masih bisa kami maklumi. Apalagi trendnya mulai bulan Februari 2021, cenderung naik setiap bulan dan tidak terkendali.
Rino juga menyampaikan bahwa terkait persoalan tersebut sudah dipertanyakan pihaknya ke beberapa Produsen Pupuk mitra APKASINDO. Seperti Wilmar/Sentana ( Pupuk Mahkota), Pupuk Kaltim dan Petrokimia. Semua mengatakan kenaikan harga dikarenakan naiknya harga bahan baku dari luar negeri. Pupuk kimia yang mereka produksi sekarang bahan bakunya sebagian besar berasal dari Impor.
Dari hitungan pihak Apkasindo, kenaikan harga TBS bulan Mei sampai Agustus sangat tidak berarti bagi Petani Sawit, sekalipun harga TBS naik secara signifikan. Dimana setiap kenaikan harga TBS Rp.100/Kg, maka kenaikan itu akan di ikuti oleh naiknya harga pupuk sebesar Rp75/kg. Selama Juli dan Agustus di Riau, kenaikan harga TBS rerata Rp300-Rp400/Kg, artinya kenaikan itu hanya menyisakan Rp.75/kg ke Petani. Lanjutnya, kenaikan harga pupuk ini merata di di 22 provinsi sentra sawit di mana APKASINDO berada.
“Jadi semua merasakannya. Kami paling miris melihat saudara-saudara kami di Provinsi lain yang rerata harga TBS nya lebih rendah 20%-30% dari Riau, Sumut, Sumbar dan Kalbar. Seperti di Sulawesi Selatan dan Banten, dimana kenaikan harga pupuk disana bisa kebalikan dari Riau. Artinya Setiap kenaikan harga TBS Rp100/kg, maka kenaikan tersebut akan terserap oleh harga pupuk sebesar Rp125/kg. Petani jadi tekor,” urai Rino.
Rino meminta pemerintah dan Komisi IV DPR RI dapat segera turun tangan untuk membantu kendalikan harga pupuk non subdisi khususnya kepada petani sawit. Sebab, petani sawit tidak pernah berdoa mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi. Dalam arti, harus berjuang dengan ongkos biaya produksi sendiri untuk memperoleh pupuk berkualitas bagus.

“Kami petani sawit tidak cengeng, tapi kalau sudah seperti ini kenaikan harga pupuk, secara hitungan teori apapun pasti gak masuk akal. Harusnya produsen pupuk plat merah (BUMN) tidak ikut-ikutan mengambil untung berlebih, harusnya menjadi benteng penyeimbang harga,” kata Rino.
Rino mengatakan perusahaan pupuk plat merah malahan menyamakan dirinya dengan produsen pupuk swasta. Ini tidak sesuai dengan harapan Presiden Jokowi perihal percepatan pemulihan ekonomi nasional dampak pandemi covid ini. Tingginya harga TBS sebenarnya momentum bagi petani untuk meningkatkan produktivitas melalui pemupukan dan investasi bidang lain.
“Kalau harga pupuk terus meroket. Ya, petani akan kesulitan untuk memupuk dan belanja sebagaimana keinginan Ibu Menkeu. Faktanya pada bulan Juli dan Agustus NTP Petani sawit menurun hampir diseluruh Provinsi Apkasindo akibat meroketnya harga pupuk,” ungkap Rino yang baru menempuh Pendidikan Doktoral Ilmuingkungan di Universitas Riau.