JAKARTA, SAWIT INDONESIA – DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menyatakan pungutan ekspor sangat menguntungkan tata niaga harga Tandan Buah Sawit (TBS) sawit di tingkatan petani. Ir. Gulat ME Manurung, MP, CAPO, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mengakui petani sangat menikmati terdongkraknya harga TBS sawit di 22 provinsi yang menjadi sentra sawit. Harga TBS membuat petani dapat belanja dan memenuhi kebutuhan mereka. Otomatis, pengeluaran para petani sawit inilah yang menggerakkan perekonomian daerah.
“Jadi Ibu Menteri Keuangan gak perlu repot-repot meminta orang kaya untuk membelanjakan uangnya. Petani sawit sebanyak 21 juta orang sangat rajin belanja karena dampak membaiknya harga TBS,” ujar Gulat.
Dari data BPS, Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Sulawesi Barat bahkan Papua Barat, menjadi contoh bagusnya nilai tukar petani (NTP) sawit. Imbasnya, perekonomian daerah tersebut ikut bergerak.
Gulat mencontohkan indikator khusus untuk provinsi penghasil sawit adalah jumlah angkutan truk, mobil pick up yang terjual dari dialer dan perusahaan leasing. Dari hasil survei APKASINDO di 22 provinsi sentra sawit tidak ada kredit macet dan truk sampai kehabisan stok.
Ia membandingkan dengan kemudahan melalui pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang di nol persen terhadap mobil tertentu. Faktanya, relaksasi pajak tadi tidak memberikan efek besar. Sementara truk dan mobil double cabin serta pick up tidak ada potongan pajak PPNBM. Malahan penjualannya rerata 22% selama pandemi covid.
“Jadi ahli ekonomi harus melihat dari segi indikator yang berbeda. Bukannya teoritik mulu, ini jaman new normal, harus dicapai dengan cara-cara yang di luar kenormalan juga,” saran Gulat.
Menurutnya, petani sudah capek berurusan dengan kawasan hutan ke kawasan hutan sejak Indonesia merdeka. Saat ini, solusi penyelesaian kawasan hutan belum sepenuhnya sesuai harapan. Walaupun, petani melihat niat pemerintah sudah jauh berubah memandang sawit dan kawasan hutan.”Mungkin karena sudah sadar bahwa sawit adalah pahlawan Indonesia, bukan Kawasan hutannya,” jelas ayah dua anak ini.
“Nah jangan masalah kawasan hutan sudah bersolusi. Tetapi kementerian lain yang terkait tergoda pula oleh pendapat yang mengatakan pungutan ekspor merugikan petani. Bagi petani, pungutan ekspor sangat dirasakan manfaatnya untuk memberikan nilai tambah. Karena ekspor dalam bentuk crude (CPO) dapat ditekan. Lalu beralih kepada hilirisasi sawit,” paparnya.
Gulat sepakat tarif pungutan ekspor (PE) sawit sekarang ini tidak perlu diubah. Justru dengan adanya pungutan ekspor menguntungkan petani. Efek positif PE, pengusaha CPO sudah berpikir untuk hilirisasi dalam negeri karena PE untuk eksport produk hilir dari CPO jauh lebih rendah. Artinya, industri di dalam negeri menjadi menggeliat, penyerapan tenaga kerja meningkat, dan yang pasti harga CPO dunia terdongkrak sehingga berdampak positif terhadap harga TBS,” kata kandidat doktor lingkungan ini.
Dicontohkan pula, Presiden Jokowi secara tegas sudah melarang ekspor nikel mentah.”Masa, kita bangga dengan ekspor minyak mentah sawit (CPO). Harus diingat presiden ingin produk hilir sawit yang dominan dalam ekspor. Capaian ini sudah terjadi sejak Januari 2020,” ungkapnya.
Ia mengakui serapan sawit di dalam negeri menjadi kunci stabilnya harga TBS. Instrumen penyerapan sawit ini adalah kebijakan mandatori biodiesel.Dengan adanya pemakaian sawit di dalam negeri untuk B30; pabrik sawit beroperasi 24 jam.
“Tidak ada lagi alasan tanki penyimpan PKS penuh, yang terjadi adalah tanki penimbunan CPO negara importir CPO yang kosong. Karena CPO langka di pasar internasional sebagai imbas positif kebijakan PE dan biodiesel Indonesia. Jadi jangan diputarbalikkan faktanya.” pungkas Gulat.