Tim Auditor ISPO DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) melakukan kajian mengenai percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di sejumlah daerah. Hasil temuan sangat mengagetkan karena terdapat banyak masalah di lapangan yang berpotensi memperlambat progres PSR.
Berdasarkan kajian tim bahwa dari 838 Koperasi/Poktan/Gapoktan Peserta PSR (tahun 2017-2020) diketahui sekitar 96,8 % pelaksanaan PSR menggunakan model bermitra dimana sebagian atau keseluruhan dikerjakan oleh rekanan. “Masalahnya, banyak pula rekanan yang bersifat jadi-jadian. Artiya, rekanan ini tidak berpengalaman dan minim SDM terkait sawit,” ujar DR. M. Amrul Khoiri, SP.,MP.,C.APO, anggota Tim Auditor ISPO DPP APKASINDO.
Petani swadaya murni merupakan kelompok petani yang paling berat menghadapi liku-liku pelaksanaan PSR ini. Pasalnya, petani swadaya minim kompetensi sehingga membutuhkan pendamping teknis PSR. Lain halnya dengan petani plasma yang masih memiliki “bapak angkat” (perusahaan inti). Lantaran keterbatasan memahami teknis PSR, petani swadaya pasrah saat penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang diserahkan kepada calon rekanan. Imbasnya, rekanan bisa sesuka hati mengotak-atik anggaran khususnya di P-0 (Pekerjaan pembangunan kebun sawit : land clearing, tumbang chipping, luku, hero, lobang tanam, pupuk, penanaman bibit, terasering dll), karena biasanya Pekerjaan PSR DIKEBUN Petani Swadaya hanya di P-0 yang dikerjakan rekanan.
“Kami melihat ada modus menguras habis dana bantuan BPDPKS di RAB pekerjaan P0, bahkan ada yang melebihi bantuan BPDPKS tersebut,” jelas Amrul.
Menurutnya sebagian besar kelembagaan petani swadaya tidak memahami penyusunan RAB, karena banyak ditemukan RAB yang berbeda-beda komponen satuan dan harga satuannya. Oleh karena itu, sebaiknya perlu dibuat acuan standar harga untuk pekerjaan yang bersifat final. Sebagai contoh, pekerjaan biaya chipping, Luku 1, Luku 2, Pekerjaan Hero, dan membuat terasering. Karena item pekerjaan ini salah satu item yang banyak menyedot biaya PSR.
Ditambahkan Amrul, hal ini mengacu kepada RAB yang dibuat oleh kelompok tani untuk pekerjaan tersebut berbeda-beda setiap PSR, idealnya dari Sabang sampai Merauke harus sama. Padahal tidak ada faktor yang mempengaruhi mengapa harus berbeda karena pekerjaan ini bersifat final (tidak ada faktor lain yang membuat harus berbeda-beda disetiap daerah).
DPP APKASINDO juga mengusulkan kegiatan dalam RAB peremajaan sawit harus lebih detil dan diperhatikan. Tujuannya, petani tidak dirugikan dalam kalkulasi anggaran pembiayaan. Contoh lainnya adalah dalam Perencanaan RAB disebutkan 142 batang/ha, tetapi sebelum pekerjaan dilakukan wajib dilakukan dahulu sensus dari total tanaman dari luas yang diremajakan. Melalui sensus inilah yang menjadi patokan jumlah batang yang akan dibayar ke rekanan, bukan mengalikan 142 batang/ha. “Disinilah sangat diperlukan tenaga pendamping yang profesional untuk memandu pembuatan laporan harian kemajuan pekerjaan,” kalau model seperti ini yang dilakukan, saya pastikan hutang Petani akan membengkak di Bank Rekanan, karena semakin boros pemanfaatan hibah BPDPKS 25 juta/ha maka tanggungan Petani di bank untuk menutupi kekurangan Total biaya pembangunan kebun sampai panen (P0-P3) akan semakin membengkak,”jelas Amrul.
Tantangan lain berkaitan besarnya intervensi dinas perkebunan di tingkat kabupaten. Amrul menuturkan ada temuan pihak oknum dinas menganggap PSR ini adalah ‘proyek’, sehingga intervensi Dinas terkait tersebut cenderung menekan Petani PSR dan memperpanjang birokrasi, belum lagi rekom-rekom calon rekanan PSR yang harus dituruti oleh Kelompok tani atau Koperasi jika tidak dituruti makan proses pencairan uang di bank Mitra akan dihalang-halangi dan tidak terbit rekom dari Dinas terkait.Hal inilah mengapa ada kelompok tani peserta PSR yang undur diri (mengembalikan uang ke BPDPKS) karena tidak tahan tekanan dari Pihak tertentu di kabupaten, alasan mereka mundur yaitu daripada kelak bermasalah secara hukum, lebih baik bertahan dengan sawit tua berumur 28 tahun.
“PSR memang membutuhkan Dinas terkait, tapi harus jelas mana batas tugas dan tanggungjawab masing-masingnya, Pihak Jakarta jangan membiarkan Virus ini menjadi pandemi di Program PSR, ini bisa mengakibatkan semua peserta PSR jadi terpapar Virus tadi,” pinta Amrul.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI, Dr. Kasdi Subagyono mengatakan bahwa peranan dinas perkebunan di daerah bagian dari tim verifikator bersama Kementan yang bekerja melahirkan rekomendasi teknis (rekomtek) sebagai dasar untuk pencairan dana dari BPDPKS. “Dana itu ditransfer oleh BPDPKS ke rekening petani atau kelompok atau koperasi. Setelah itu tidak ada lagi,” tegas Kasdi.
Dalam program PSR ini, petani mendapat bantuan dana Rp 30 juta per hektar yang disalurkan oleh BPDPKS. Untuk mencukupkan total kebutuhan dana PSR ini petani memenuhinya dari kredit KUR Perbankan. Pemerintah sangat mendorong petani untuk mengikuti program ini karena ditujukan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan sawir rakyat.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 104)