Penulis : Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn.*
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 menerapkan prinsip pertanggung jawaban strict liability. Dalam penerapannya pertanggung jawaban strict liability tidak mencari penyebab dari kebakaran hutan dan lahan, tetapi pertanggungjawaban diletakkan pada pemilik konsesi tempat terjadinya kebakaran tersebut. Pertanggungjawaban inilah yang dipandang justru menimbulkan ketidakadilan. Persoalannya baik dalam hukum perdata maupun hukum pidana, pertanggungjawaban strict liability dipergunakan untuk perbuatan yang sederhana pembuktiannya.
Hartiwiningsih (2018 :5), menyebutkan bahwa pertanggungjawaban strict liability tidak dapat diterapkan pada perkara kebakaran hutan dan lahan yang pembuktiannya rumit dan memerlukan pembuktian ilmiah. Paradigma pertanggungjawaban strict liability ini justru tidak pernah mengungkap kebenaran materiil kasus kebakaran hutan dan lahan, karena hingga pembuktian di persidangan hanya berfokus tentang adanya api pada konsesi yang dimaksud. Padahal dalam hal pengungkapan materiil, apalagi guna mengakhiri kebakaran hutan dan lahan yang berulang maka diperlukan penegakan hukum yang mampu mengungkap akar masalah dari kebakaran hutan dan lahan itu sendiri,
Dalam konteks, mengidentifikasi akar masalah maka penegakan hukum perlu diarahkan pada pertanggungjawaban melekat kepada pelaku yang melakukan pembakaran hutan dan mengungkap motifnya. Mengingat kemungkinan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan memang tidak ada pelaku yang melakukan pembakaran, misalnya kebakaran yang disebabkan karena cuaca kering. Artinya dalam hal ini model pertanggung jawaban strict liability hanya akan menghasilkan kriminalisasi terhadap banyak pihak, dan proses penegakan hukum tidak akan dapat mengidentifikasi persoalan kebakaran lahan yang sebenarnya.
Penting dalam proses penegakan hukum untuk dapat mengungkap kejadian yang sebenarnya, dalam perspektif preventif mengungkap kejadian yang sebenarnya dapat dipergunakan sebagai dasar penanggulangan agar kejadian kebakaran hutan dan lahan tidak terulang kembali. Penegakan hukum atas perkara kebakaran hutan dan lahan yang selama ini dilakukan tidak efektif karena tidak dapat mengungkap kejadian materiil yang sesungguhnya. Pada perkara kebakaran hutan dan lahan pertanggungjawaban strict liability justru bertentangan dengan kepastian hukum itu sendiri.
Soesilo (1992:59), menguraikan bahwa pada perkara pidana terkait dengan lingkungan hidup model pembuktian yang dipergunakan adalah ‘Conditio Sine Qua Non’ yakni pembuktian sebab-akibat. Model pembuktian ini dipergunakan untuk menemukan kebenaran materiil pada perkara yang memerlukan pembuktian rumit dan ilmiah seperti kasus kebakaran hutan dan lahan. Pemerintah dalam hal ini perlu merubah model paradigma pertanggungjawaban pada kasus kebakaran hutan dan lahan.
Alternatif model pertanggung jawaban yang dapat dipergunakan oleh pemerintah adalah polluter pays principle, dalam prinsip ini maka siapa yang menyebabkan kebakaran maka dialah yang harus memberi ganti rugi dan menanggung biaya pemulihan lingkungan terkait dengan kebakaran yang ditimbulkan (Muhdar,2009 : 13). Artinya dalam hal ini maka proses penegakan hukum akan mencari kebenaran materiil terkait pelaku yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Dengan terungkapnya pelaku maka proses penegakan hukum akan dapat mencari motif dari pelaku pembakaran lahan.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 98)