Niatan pemerintah untuk memproduksi bahan bakar nabati atau biofuel secara massal akan terganjal ketidakpastian kebijakan harga dan konsumsi biofuel yang masih rendah. Tanpa sokongan subsidi, harga biofuel akan tetap tinggi dan kurang kompetitif dengan harga solar.
Hal itu disampaikan oleh Gigih Prakoso Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko PT Pertamina saat acara World Plantation Conference and Exhibition (WPLACE) 2017 di Hotel Grand Sahid, Jakarta, pertengahan Oktober lalu. Acara ini mengambil tema tentang pengembangan industri hilir pada komoditas perkebunan, di mana para peserta berasal dari pemangku kepentingan perkebunan seperti akademisi, peneliti, pemerintah, swasta dan petani. Ada sekitar 1.500 peserta yang mendaftar dan sekitar 380 peserta yang berasal dari 32 negara. Konferensi ini berlangsung dari 18-20 Oktober 2017 dan juga menghadirkan 105 pembicara kompeten.
Hingga saat ini, kata Gigih, belum ada kepastian harga biofuel dari pemerintah jika akan dipasarkan secara massal. Pemerintah belum dapat mensubsidi dalam jumlah besar sehingga harga yang dipatok cukup tinggi sekitar Rp 8.000 – Rp 9.000 per liter.
“Kalau disubdisi bisa Rp 6.500 per liter, kalau mahal menjadi kurang kompetitif dengan harga solar yang telah disubsidi oleh pemerintah. Kini solar sebagian besar masih digunakan sebagai bahan bakar transportasi,” jelas Gigih Prakoso.
Di sisi lain, konsumsi biofuel masyarakat Indonesia masih rendah, hal ini dilatarbelakangi berbagai sebab. Di antaranya, harga penerimaan biofuel masih di bawah ekspetasi dan penggunaannya akan menambah biaya perawatan mesin kendaraan karena harus sering mengganti komponen mesin. Selain itu, masih minimnya garansi mesin kendaraan untuk bahan bakar biofuel serta belum adanya jaminan ketersediaan bahan bakar tersebut ke depan.
Dono Boestomi, Direktur Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, mengakui konsumsi biodiesel bersubsidi baru 1,67 juta Kiloliter sampai pertengahan tahun ini, berdasarkan data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM. “Dari kurun waktu April sampai Juni, penyerapan biodiesel sempat meleset dari target. Akibat kendala teknis,” ujar Dono saat menjadi pembicara dalam IPOC 2017.
Pada tahun ini, diharapkan penyerapan biodiesel bersubsidi dapat mencapai 2,53 juta Kl. “Target lebih besar kami ingin mencapai 3,5 juta kiloliter per tahun,” paparnya.
Oleh karena itu, kata dia, diperlukan penerapan harga yang bersaing untuk biodiesel solar non subsidi (PSO). Tujuannya adalah untuk menghilangkan kesenjangan harga biodiesel dengan bahan bakar lain.
Berkaitan dengan itu, Gigih juga menghendaki keterlibatan banyak pihak seperti pemerintah, masyarakat dan pengusaha otomotif untuk memperkenalkan jenis bahan bakar ini sehingga tren permintaan dan penawaran bisa menguat. Secara teratur ada analisa mengenai tren permintaan biodiesel untuk dapat memperkirakan kebutuhan penyimpanan biodiesel di masa depan.