Bagian VII
Sulitnya persaingan ini membuat perang dagang antara CPO dan SFO & SFO menjadi sesuatu yang sangat berat bagi CPO. Adalah beberapa logika yang dibangun dalam perang dagang ini. Pertama RSO memiliki share produksi yang cukup besar di Uni Eropa. Kedua, Uni Eropa melakukan intervensi melalui berbagai kebijakan (Kebijakan Parlemen Uni Eropa yang mengelurkan Resolusi Sawit). Uni Eropa menggunakan semua cara untuk melindungi kepentingan industri domestiknya (RSO dan SFO) dan menggunakan beragam kebijakan baik dari sisi demand. Dari sisi supply, kebijakan yang dilakukan adalah menahan laju pertumbuhan produksi CPO, melalui intervensi dan memunculkan isu moratorium sawit, dan disisi lain Uni Eropa juga menggunakan sisi demand, yakni dengan membangun gerakan labelling, palm oil free (POF), dan mengkampanyekan bahwa produk yang mencantumkan labelling POF diapresiasi sebagai keputusan konsumen yang sangat bernilai dan menyelamatkan lingkungan maupun hewan langka.
Ketiga, Uni Eropa sedang melakukan proteksi yang tinggi untuk menjaga Uni Eropa tidak memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap impor CPO, karena Uni Eropa melihat adanya kesenjangan yang semakin lebar antara konsumsi dan produksi domestik. Dalam jangka pendek, tekanan yang sangat beraneka ragam dalam gerakan anti sawit Indonesia, tidak bisa dilakukan dengan mudah. Dalam 2015 dan 2016, kampanye ini hanya berhasil menurunkan 0,1 ton impor CPO, artinya pengaruhnya tidak sekuat yang dibayangkan . Berdasarkan proyeksi di atas, maka dapat dilihat bahwa pada tahun 2030, konsumsi minyak nabati Uni Eropa akan anaik 14% dari 22,96 juta ton (2016) menjadi16,18 juta ton. Target dari sejumalah kebijakan pemerintah (market intervention) akan berhasil mendorong pertumbuhan rapeseed oil (RSO) dan sunflower oil (SFO), masing-masing akan meningkat 8% dan 5% dalam kurun waktu 14 tahun kedepan.
Sumber : GAPKI