Bagian VI
Perang minyak nabati ke-2 dalam industri persawitan Indonesia, adalah antara CPO dan rapeseed oil (RSO) dan sunflowers oil (SFO). Frenomena perang ini tidak persis sama denga perang dagang antara CPO dan SBO di atas, dimana perang dagang ini lebih bersifat regional, yaitu Uni Eropa, sedangkan SBO lebih bersifat global, dimana Uni Erpoa adalah produsen RSO dan SFO.
Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan utama, yakni karakteristik RSO dan SFO jauh beda dibandingkan dengan CPO dan SBO. RSO dan SFO berbeda pada urutan ketiga dan keempat. Hal ini membuat RSO dan SFO merupakan komoditas yang tergolong thin market karena volume yang dapat di perdagangkan relatif sedikait. CPO dan SBO menguasai sekitar 80% dari total konsumsi dunia, sedangkan RSO dan SFO hanya 20%. Jika USA mengembangkan isu kesehatan dalam perang dagang minyak nabati dunia, maka Uni Eropa mengunakan isu lingkungan, dengan beragam variabel.
RSO merupakan produksi nabati utama di Uni Eropa, dan sangat sulit bersaing di pasar global, karena volume ekspor sedikit dan lebih banyak dikonsumsi oleh masing-masing negara produsen, dan harganya relatif mahal, dimana rasio harga CPO/RSO adalah 0,67 artinya CPO jauh lebih murah. Dengan jumlah yang sama 2 juta ton RSO equivalent dengan 3 juta ton CPO. Hal ini jauh berbeda antara CPO dengan SBO, dimana pada tahun 2016, harga 10 ton minyak kedelai (SBO) sama dengan 11 ton CPO, selisih relatif kecil dan memberi peluang yang lebih besar bagi SBO mengalahkan CPO dibandingkan RSO dengan CPO.
Sumber : GAPKI