Terbitnya Perpres No 44 tahun 2020 tentang Sistem sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) menjadi upaya melibatkan petani sawit. Pernyataan ini diungkapkan Diah Soeradiredja Senior Advisor Yayasan KEHATI, saat menjadi salah satu pemateri Dialog Ngeriung Bicara Sawit (NGEBAS) seri-IV bertemakan “Mandatori ISPO: Petani Mau Dibawa Kemana?”, yang diselenggarakan Majalah SAWIT INDONESIA, Rabu (30 Juli 2020).
Diah Soeradiredja menuturkan sejumlah 41,5% dari total luas lahan perizinan yang dikelola pekebun sawit rakyat maka pelibatan dan dukungan pada pekebun menjadi keniscayaan. “Jadi, melihatnya dari sisi positif bahwa ini bukan pengorbanan tetapi justru menjadi alat atau instrumen tata kelola bukan instrumen pasar,” ujar Diah.
Selanjutnya, Diah menjelaskan Perpres ISPO mesti di pandang secara utuh dengan Inpres Moratorium (penundaan ijin dan peningkatan produktivitas) dan Inpres tentang RAN-KSB. Dalam Inpres Nomo 6/ 2019 tentang Rencana Aksi Nasional – Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN – KSB) secara khusus menjadikan peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun sebagai salah satu elemen Rencana Aksi Nasional KSB. Aturan ini juga diinstruksikan pada 14 Kementerian/Lembaga dan Gubernur, Bupati sentra sawit.
Perpres No 44 tahun 2020, tentang sistem sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan terdapat VII Bab dan 30 pasal. Menurut Diah, ada beberapa poin yang mendukung pekebun. Di antaranya pada Pasal 5 ayat 5, sertifikasi pekebun dapat diajukan berbentuk kelompok atau gabungan, koperasi. Dengan berkelompok akan lebih efisien dan meringankan beban tiap pekebunnya. Dan, Pasal 18 ayat 2 sertifikasi pekebun dapat bersumber dari APBN/APBD (diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri). Peluang bagi pekebun untuk akses dana ini,” ucapnya.
Sementara, pada pasal 20 ayat 1 (wakil pekebun juga bisa duduk dalam komite ISPO). “Artinya secara politik pekebun diakui setara dengan pelaku usaha lainnya,” imbuh Diah.
Selain mendapat dukungan untuk mendapatkan sertifikasi, petani juga akan mendapat pembinaan dan pengawasan. Hal ini tertuang pada Bab V Pembinaan dan Pengawasan pasal 25 ayat 4 Pembinaan bagi pekebun meliputi penyiapan dan pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO, peluang untuk akses pendampingan/fasilitasi menuju ISPO.
Perpres No 44 tahun 2020, mewajibkan pekebun sawit rakyat untuk mengikuti proses sertifikasi ISPO, yang tertuang pada Pasal 27 ayat B : Bagi pekebun ISPO berlaku 5 tahun setelah diundangkan (Maret 2024).
Terkait dengan pelaksanaan Perpres ISPO yang wajib diikuti pekebun sawit rakyat pada 5 tahun mendatang. Diah mengingatkan pentingnya mengenali karakter dan typologi pekebun sawit rakyat.
“Studi PSP3IPB bersama Yayasan KEHATI, membagi menjadi pekebun tingkat bawah, menengah dan atas (sesuai tingkat penghasilan dan luasan kebun sawit). Sementara, Setara Jambi: membagi menjadi pekebun mandiri murni (tanpa kerjasama dan dukungan pihak lain), pekebun mandiri (memiliki kerjasama dan dukungan pihak lain: akses saprodi, modal dan pasar),” ujarnya.
“Dalam buku sawit rakyat Kehati juga membagi dalam tiga kategori Pekebun kecil (luasan 0,5 – 2 ha), pekebun menengah (luasan 5 – 10 ha), Pekebun usaha tani 10 – 25ha),” imbuh Diah.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 106)