JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 25/2020 mengenai Komite Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Komite ISPO dinilai tidak sesuai dengan Perpres Nomor 44/2020. Dr. Tungkot Sipayung, Pengamat Perkelapasawitan, merasa heran dengan susunan keanggotaan Komite ISPO dengan masuknya Perkumpulan Forum Petani Sawit Indonesia dan Lembaga Ekolabel Indonesia.
“Saya baru dengar (Perkumpulan Forum Petani Sawit). Apakah sudah berbadan hukum organisasi ini?” tanya Tungkot.
Ia mengacu pasal 20 di dalam perpres ISPO yang menyebutkan unsur keanggotaan Komite ISPO yang berasal dari pemantau independen harus berbadan hukum Indonesia.“Kalau mereka tidak berbadan hukum berarti aturan Komite ISPO tidak konsisten. Padahal, ada APKASINDO sudah berbadan hukum. Ataupun asosiasi petani sawit lainnya seperti SAMADE. Kenapa tidak dimasukkan?” ujar Tungkot.
Doktor lulusan IPB ini juga menyoroti mekanisme dan kriteria lembaga independen atau perorangan (akademisi) yang diangkat menjadi anggota Komite ISPO. Tidak ada informasi resmi dan jelas dari mengenai mekanisme pemilihan Komite ISPO. Makanya, publik akan menilai pemilihan terkesan subjektif.
Sementara itu, Dr. Sadino, Pengamat Kehutanan, juga mempertanyakan masuknya Lembaga Ekolabel Indonesia dalam Komite ISPO. Pasalnya, fokus lembaga ini mengenai sektor kehutanan dan perkayuan, bukan perkebunan seperti sawit. “Seharusnya, penyelesaian masalah petani menjadi perhatian utama regulasi ISPO,” jelas Sadino.
Sebagai informasi, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) adalah organisasi non-profit yang mengembangkan sistem sertifikasi hutan untuk pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Karut marut regulasi ISPO berawal dari terbitnya Perpres Nomor 44/2020. Pasalnya, beleid ini melanggar UU Nomor 39/2014 mengenai Perkebunan. Di dalam pasal 62 UU Perkebunan tertera bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan Perkebunan Berkelanjutan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
“Dengan terbitnya ISPO melalui Peraturan Presiden (Perpres No 44/2020). Berarti, perpres itu sendiri melanggar tata kelola ( governance) yang diamanatkan UU Perkebunan. Masalahnya, pengaturan ISPO melalui Peraturan Presiden, bukan melalui Peraturan Pemerintah, jelas mengabaikan eksistensi dan hak DPR dalam penyusunan perundang-undangan,” ujarnya.
Persoalan lain adalah kebun petani diwajibkan bersertifikat ISPO dalam Perpres 44/2020. Faktanya sekarang ini, 90 persen lebih kebun sawit rakyat tidak punya ISPO. Bahkan, petani kesulitan memenuhi syarat ISPO terutama legalitas kebun. “Jika kebun sawit rakyat tidak punya ISPO. Dikhawatirkan, buah sawit petani tidak diterima pabrik sawit yang bersertifikat ISPO. Kalau ini terjadi, bukankah Perpres ISPO akan menyingkirkan petani dalam rantai industri sawit,” tegasnya.
Atas dasar itulah, Tungkot meminta dilakukan revisi terhadap Perpres ISPO dan Peraturan Menko Perekonomian mengenai Komite ISPO. Langkah ini perlu dilakukan demi menjaga azas pemerintahan (governance) dan wibawa pemerintah. Tanpa perbaikan, regulasi berkaitan ISPO bisa merusak citra baik serta wibawa institusi Presiden, Menko Perekonomian serta Deputi Bidang Kordinasi Pangan dan Agribisnis.