Dr. Sadino, S.H., M.H.
(Konsultan Hukum Gapki Pusat dan Dosen Tetap pada Program Pasca Sarjana Universitas Al-Azhar Indonesia Pengampu Hukum Sumber Daya ALam dan Hukum Lingkungan)
Beleid dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan telah dikeluarkan pada tanggal 6 September 2017 dengan landasan filosofinya, pertama adalah dalam rangka menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah didalam kawasan hutan, perlu dilakukan kebijakan penyelesaian penggunaan tanah dalam kawasan hutan. kedua, bahwa adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014. Keempat Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menunjukkan bahwa Undang-Undang Kehutanan selama ini telah banyak terjadi kekeliruan dan mengambil paksa hak-hak masyarakat dalam pola “penunjukan” kawasan hutan yang dipergunakan oleh rezim pengelola hutan untuk merampas hak-hak konstitusional yang berupa hak kebendaan dan hak-hak lain yang dimiliki oleh masyarakat yang lahannya ditunjuk sebagai kawasan hutan. ketiga, bahwa dengan adanya dua hal tersebut dipandang perlunya menetapkan Peraturan Presiden tentang tentang Penyelesaian Penggunaan Tanah Dalam Kawasan Hutan Hutan.
Dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasan Tanah Dalam Kawasan Hutan merupakan sebuah kemajuan yang patut diapresiasi sangat tinggi bagi rakyat kebanyakan yang terkait dengan lahan kawasan hutan. Meskipun sesungguhnya PERPRES ini juga adalah sangat terlambat. Persoalan tanah dalam kawasan hutan merupakan problem institusi sejak tahun 1960, yaitu adanya konflik norma antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang. Konflik norma dalam hukum agraria dan hukum kehutanan sudah berlangsung sangat lama dan sampai saat ini belum ada penyelesaian. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014. Keempat Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menunjukkan bahwa Undang-Undang Kehutanan selama ini telah banyak terjadi kekeliruan dan mengambil paksa hak-hak masyarakat dalam pola “penunjukan” kawasan hutan yang dipergunakan oleh rezim pengelola hutan untuk merampas hak-hak konstitusional yang berupa hak kebendaan dan hak-hak lain yang dimiliki oleh masyarakat yang lahannya ditunjuk sebagai kawasan hutan.