JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pernyataan Jaksa Agung terkait kasus almarhum DL Sitorus dinilai tidak memenuhi rasa keadilan. Hal ini diungkapkan Kuasa hukum Koperasi KPKS-Bukit Harapan, Koperasi Parsub dan keluarga Almarhum DL Sitorus, Marihot Siahaan.
Marihot menanggapi pernyataan Jaksa Agung H.M.Prasetyo diberbagai media terkait meninggalnya DR Sutan Radja DL Sitorus.Pernyataan Jaksa Agung membicarakan kembali soal eksekusi lahan perkebunan kelapa sawit seluas 47 ribu hektar di Padang Lawas, Sumatera Utara.
Padahal saat ini keluarga dalam suasana berduka bahkan jasad DL Sitorus belum dikebumikan. Rencananya baru akan dikuburkan pada 11 Agustus 2017.
“Ini yang miris. Mestinya dalam suasana duka, apalagi jenazah almarhum DL Sitorus belum dikebumikan. Jaksa Agung sebaiknya dapat menahan diri dulu-lah demi menjaga wibawa sebagai pejabat Negara dan guna menghindari timbulnya kesan seolah-olah terburu-buru dan punya kepentingan tertentu serta disetir, “ kata Marihot Siahaan dalam pernyataan tertulisnya.
Ditambahkan Marihot, pernyataan Prasetyo terhadap almarhum DL Sitorus tersebut momennya sangat tidak tepat bagi etika dan perasaan budaya suku batak. Terutama mungkin terhadap kerabat dekatnya yaitu Puak Nairasaon (marga Sitorus, Sirait, Manurung, dan Butar-butar). Ini dapat melukai perasaan-batin mereka yang sedang berduka.
Sesuai fakta, menurut Marihot, tak dapat dimungkiri tentang sumbangsih dan karya almarhum Dr. Sutan Raja DL Sitorus kepada Negara Indonesia. Dia sudah ikut membantu Negara membangun sarana Pendidikan dari strata SD sampai Perguruan Tinggi dan membangun sarana Kesehatan (Klinik dan Rumahsakit) serta sarana perbankan masyarakat didaerah tanpa membebani Negara dengan hutang atau pinjaman.
Kasus hukum yang menimpa almarhum DL Sitorus yang diduga telah dijadikan korban dengan didakwa melakukan tindak pidana korupsi, didakwa menduduki kawasan hutan di register 40 Padang Lawas tanpa ijin Menteri Kehutanan. Kemudian dipaksakan dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pidana No 481, yang sebenarnya beliau tidak pernah melakukan seperti apa yang didakwakan dan diputuskan dalam putusan pidana dimaksud.
Akibat putusan pidana No.481 tersebut, almarhum telah menjalani hukuman penjara 8 tahun dan di denda sebesar Rp 5 miliar. Walaupun dalam putusan pidana tersebut tuduhan utamanya yaitu Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang tidak pernah terbukti, beliau tidak pernah melakukan perbuatan yang merugikan Negara. Dan disebutkan bahwa kerugian Negara tidak terbukti alias nol.
“Ini artinya, seluruh amar putusan pidana No.481 tersebut sudah dijalani almarhum DL Sitorus dengan baik,” tegasnya.
Setelah Koperasi KPKS Bukit Harapan dan Koperasi Parsub memohon keadilan kepada Negara dengan menggugat Menteri KLHK dan Jaksa Agung, Negara melalui pengadilan negeri Padangsidrmpuan berdasarkan bukti dan fakta yang sah telah memutuskan dengan menyatakan bahwa perampasan (eksekusi) kebun koperasi tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum.
Karena lahan seluas 47 ribu hektar tersebut adalah milik masyarakat adat yang tergabung di KPKS Bukit Harapan dan Koperasi Parsub. Putusan itu juga menyatakan bahwa lahan tersebut tidak berada di kawasan hutan (Register 40) berdasarkan sidang pemeriksaan ditempat (lokasi)Kawasan Hutan Register 40 belum punya Tata batas yang sah menurut hukum.
“Lalu kenapa Pak Prasetyo mempersoalkan lahan seluas 47 ribu hektar itu lagi saat ini, dan sama sekali tidak mengungkap ke publik fakta ini, dan tetap mengatakan milik almarhum DL Sitorus. Logika orang awam sulit menepis dugaan bahwa ada kejanggalan tersembunyi di balik pernyataan jaksa agung kita ini,” kata Marihot lagi.
Anehnya lagi, kata Marihot, bahwa dalam pernyataan persnya, Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan bahwa pihaknya sudah melakukan eksekusi pada tahun 2009 terkait lahan seluas 47 ribu hektar tersebut dengan menyerahkan lahan tersebut kepada Departemen Kehutanan.