Permentan 05/2019 mewajibkan pelaku kebun untuk mempunyai HGU dan IUP. Beleid baru ini mengancam kepastian iklim usaha perkebunan.
Menteri Pertanian RI, Amran Sulaiman menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 05/2019 mengenai Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian. Aturan baru ini memiliki sejumlah pasal yang mengakomodir putusan MK 138/2015 mengenai pengujian UU Perkebunan No 39/2014.
Permentan ini kian memperumit mekanisme perizinan untuk pembangunan lahan kebun. Sebab, kepemilikan Izin Usaha Perkebunan (IUP) Budidaya tidak akan berlaku apabila kebun belum berstatus Hak Guna Usaha (HGU).
“Setelah berlakunya aturan ini, maka untuk pemberian IUP (red- Izin Usaha Perkebunan) budidaya dan pengolahan. Pengusaha diwajibkan punya HGU (Hak Guna Usaha) dulu,” ujar Dr.Sadino, Pengamat Kehutanan, Rabu (6 Februari 2019).
Kewajiban mengantongi HGU ini terdapat dalam pasal 9 yang berbunyi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, untuk usaha budi daya tanaman perkebunan berisi kesanggupan menyampaikan sejumlah persyaratan salah satunya Hak Guna Usaha.
Lewat pasal ini maka syarat memperoleh IUP-Budidaya adalah HGU. Perusahaan juga diwajibkan membuat pernyataan yang menyatakan setelah mengantongi HGU dalam jangka waktu 6 tahun mengusahakan seluruh luas hak atas tanah yang secara teknis dapat ditanami untuk segera melakukan kegiatan penanaman.
Sadino menuturkan aturan baru yang diterbitkan Menteri Pertanian RI, Amran Sulaiman akan berdampak buruk bagi usaha perkebunan sawit. Terutama kelangsungan perizinan sebelum tahun 2016 pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/2015.
Sebagai informasi, putusan MK mengubah kalimat dan substansi UU No. 39/2014 tentang Perkebunan yang digugat Koalisi LSM. Salah satunya di dalam Pasal 42, yang menerangkan sebelumnya pembangunan kebun sawit atau pengolahan dapat dilakukan apabila sudah memiliki hak atas tanah (HGU) dan/atau Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau kedua-duanya. Putusan MK 138 menghilangkan kata “atau”.
Akibatnya, substansi Pasal 42 tadi berubah menjadi pembangunan kebun sawit atau pengolahan dapat dilakukan apabila sudah memiliki hak atas tanah (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Ini berarti, pelaku usaha kebun wajib mempunyai HGU dan IUP.
Susanto Yang, Wakil Ketua GAPKI Bidang Kebijakan Publik, mengkhawatirkan berlakunya Permentan 05/2019 bagi keberlanjutan usaha sawit. Karena IUP bisa berlaku efektif jika sudah mendapatkan HGU. Mengingat beleid ini bagian dari petunjuk pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 138/2015 berkaitan revisi ulang UU No. 39/2014 tentang Perkebunan khususnya Pasal 42.
Selama ini, pengurusan HGU harus ada bukti penguasaan lahan yang bisa memakan waktu 3 tahun lebih. Selama ini, tambahnya, mengurus HGU itu bisa bertahap sepanjang ada IUP walaupun izin lokasi sudah habis masa berlakunya.
Padahal, tanpa IUP, pelaku usaha tidak boleh melakukan kegiatan operasional, sedangkan tanpa kegiatan operasional pelaku usaha belum tentu bisa ganti rugi dan kuasai lahan. “Tanpa bukti ganti rugi atau penguasaan lahan, bagaimana bisa urus HGU? Sekarang tanpa HGU tidak ada IUP, ini menjadi lingkaran setan atau seperti ayam dan telur mana yang duluan,” ujar Susanto.
Dampak lain permentan ini terhadap pembangunan plasma masyarakat. Susanto menuturkan ketika masyarakat menyerahkan lahan yang terjadi lahan tidak akan bisa dibangun karena menunggu selesainya HGU dan IUP. “Jika 2 tahun lahan tidak kunjung dibuka, petani bakalan protes. Yang paling kena dampaknya jika (permentan 05) berlaku,” kata Susanto.
Dr.Rio Christiawan, Pengamat Hukum Lingkungan Universitas Prasetya Mulya, menjelaskan permentan Nomor 05/2019 mengembalikan mekanisme perizinan ke era 1990-an sewaktu IUP diterbitkan Dirjen Perkebunan. Padahal, mekanisme IUP terbit baru HGU untuk menyempurnakan kebijakan dekade 199.
“Kalau HGU terbit dulu baru IUP, bakalan muncul spekulan tanah dan tanah terlantar yang sudah sertifikat,” kata Rio.
Rio menambahkan konsep IUP dulu baru HGU sebenarnya lebih bagus bertujuan perusahaan berkomitmen untuk melakukan aktifitas perkebunan baru diberikan hak atas tanah. Karena esensinya IUP adalah izin teknis budidaya dan pengolahan sedangkan HGU adalah bukti kepemilikan aset.
“Artinya jika konsisten menjalankan Permentan 05/2019. Maka ketentuan ijin lokasi serta tata cara untuk memperoleh HGU harus direvisi semua jika tidak maka akan saling bertentangan,” pinta Rio.
Yang perlu diperhatikan Permentan 05 ini seolah-olah menjadikan Kementerian Pertanian sebagai penentu syarat pembuatan HGU. Padahal otoritas HGU merupakan domain Kementerian BPN/ agraria. “Jika BPN tidak berpegang pada permentan 05/2019 dan tetap menggunakan ketentuan BPN sendiri justru potensial menimbulkan masalah.”
Rio mengusulkan supaya pelaku usaha mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung (MA), sebagaimana permen LHK Nomor 17/2017 yang dibatalkan oleh MA juga. “Dalam hal ini yang berwenang MA karena tingkatannya dibawah UU,” kata Rio.
Menurut Rio Christiawan, uji materiil Permen 05/2019 sangat beralasan karena selain banyak bertentangan dengan aturan lain lebih tinggi. Aturan ini juga menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat kecil misalnya plasma.
Dengan aturan ini, dijelaskan Rio, dengan HGU terbit dahulu meskipun belum jelas hal-hal terkait perjanjian plasma yang biasanya menjadi syarat dan diatur dalam IUP. Hal ini berakibat justru potensial timbul konflik setelah HGU terbit. Padahal esensi pemberian HGU adalah pada lahan yang clear and clean.
Seluruh pemangku kepentingan juga dirugikan karena masa tunggu untuk melakukan penanaman menjadi lebih lama sebelumnya jika hanya IUP dalam 6 bulan sudah bisa dilakukan pembukaan kebun dan LC tanam.
Tetapi jika HGU dahulu baru IUP artinya pengurusan bisa lebih dari 2 tahun. Akibatnya, kata Rio, dapat merugikan/mematikan plasma dan investasi prinsipnya plasma bisa menunggu lama sekali jika IUP belum terbit.