Kendati dianggap berpenghasilan tinggi, petani sawit mengharapkan pemerintah juga membantu penyediaan benih sawit lewat program subsidi. Alasannya, benih sawit sangat menentukan tingkat produksi hasil panen buah sawit yang tentu saja mempengaruhi tingkat pendapatan per bulannya. Untuk mengetahui lebih dalam keinginan petani sawit, tim Sawit Indonesia mewawancarai Asmar Arsjad, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia:
Apa kendala utama dalam pengembangan perkebunan sawit rakyat?
Dari 3,2 juta hektare perkebunan sawit rakyat terdapat satu juta hektare perkebunan sawit yang berumur tua di atas 25 tahun. Lahan tersebut perlu segera diremajakan sebagai upaya meningkatkan produksi minyak sawit lewat program 35/26, yakni produktivitas sebesar 35 ton per hektare per tahun dan rendemen minyak sebesar 26%. Selain itu pada 2020 mendatang, produksi minyak sawit ditargetkan mencapai 40 juta ton. Untuk itu, perlu dilakukan lewat mencari klon atau varietas sawit baru berjumlah 16 yang unggul itu bisa diberikan kepada petani. Jadi peran pemerintah dapat mendistribusikan benih sawit yang berkualitas bagus kepada petani. Anggaran berasal dari bea keluar (BK) yang dipungut dari ekspor CPO. Replanting dilakukan secara bertahap sekitar 200-500 hektare per tahun.
Berapa kebutuhan dana peremajaan tanaman sawit?
Dana peremajaan sekitar Rp 28 juta per hektare sampai umur tanaman sawit tiga tahun. Termasuk di dalamnya untuk benih, biaya perawatan dan pupuk. Kalau diperhatikan program peremajaan akan jalan. Kalau semua persoalan benih, sertifikasi lahan dan peremajan mendapatkan perhatian, maka sektor kelapa sawit akan maju. Namun pemerintah apriori dengan usulan dari petani.
Selama ini, darimana petani memperoleh benih sawit?
Penjualan benih sawit dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) untuk petani sudah baik. Tetapi ketersedian benih sawit masih terbatas. Harga benih sawit sekitar Rp 6.000 per kecambah. Namun dari varietas yang ada bisa dipilih yang bagus dan sudah teruji lantas diberikan kepada petani.
Selain itu, program waralaba benih perlu digalakan karena selama ini tidak berjalan akibat minimnya dukungan dari pemerintah. Pemeritah bilang petani-petani sawit sudah pada kaya, padahal bukan itu konteksnya sebab petani membutuhkan subsidi benih sawit. Lantas perbankan melihat petani sawit tidak bankable karena lahan petani belum bersertifikat.
Berapa kebutuhan benih sawit petani tiap tahunnya?
Kebutuhan benih untuk petani tidak bisa diprediksi tapi sekarang petani masih kesulitan memperoleh benih. Kendati Indonesia memiliki 11 produsen benih sawit,tetapi masih terjadi impor benih dari KostariKa, Papua Nugini dan Malaysia. Saat ini, harga benih produksi London Sumatera paling mahal seharga US$ 1,2 per kecambah, harga benih Socfin sebesar Rp 8.000- 10.000 per kecambah dan benih PPKS harganya Rp 6.000-8.000 per kecambah.
Dampak dari peredaran benih sawit tidak bersertifikat kepada petani?
Hampir 60% kebun sawit rakyat itu benihnya tidak bersertifikat sehingga produktivitas kelapa sawitnya rendah menjadi 10-12 ton TBS per hektare per tahun dan CPO hanya 1,3-1,5 ton per hektare per tahun. Padahal, benih bersertifikat berpotensi menjadikan produktivitas mencapai 17-20 ton TBS per hektare per tahun dan produktivitas CPO sebesar 4 ton per hektare per tahun, bahkan jika menerapkan manajemen budidaya yang baik produktivitas CPO dapat mencapai 9 ton per hektare per tahun.
Saat ini, harga TBS berkisar Rp 1.650 per kilogram dari akhir tahun 2011 yang sebesar Rp 1.580 per kilogram. Kondisi merupakan imbas dari pergerakan harga CPO di pasar internasional yang terus merangkak naik,sehingga mendorong kenaikan harga TBS. Sementara biaya produksi petani sekarang sekitar Rp 400 per kg dari biaya perawatan hingga ongkos sampai ke pengepul TBS.
Bagaimana program sertifikasi lahan petani yang dijalankan Badan Pertanahan Nasional?
Program prona itu lebih banyak berjalan pada tanaman pangan bukan tanaman sawit. Jelas, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia meminta program dapat diperuntukan bagi perkebunan sawit.
Bagaimana dampak moratorium terhadap perkebunan sawit?
Kebijakan ini menghambat perluasan kelapa sawit nasional. Padahal petani butuh perluasan usaha untuk membangun rumah dan menebang pohon. Dengan adanya kebijakan ini tidak ada ekspansi usaha karena kalau tidak, menebang pohon bisa dibilang mencuri pohon dan dipenjara selama dua tahun. Padahal pohon tersebut untuk membuat rumah. Menteri Kehutanan membolehkan membuka lahan, namun pihak kepolisian perbutan itu melanggar hukum lantaran aturan itu tidak sinkron.
Akibat moratorium, laju pertumbuhan kebun hanya mencapai 200 ribu hektare. Padahal rencana program perluasan tanaman sawit oleh pemerintah seluas 500.000 hektare. Sebentar lagi Indonesia luas areal sawitnya bisa mencapai 10 juta ha dan itu maksimal karena ketersediaan lahan yang mulai sulit. Dari luas lahan tadi, akan didominasi perkebunan milik rakyat dan swasta karena luas lahan BUMN stagnan.
Bagaimana tanggapan bapak soal revisi peraturan menteri pertanian soal pembangunan kebun plasma?
Permentan No 26 Tahun 2007 sulit dijalankan bagi perkebunan kelapa sawit yang sudah establish namun bukan berarti perusahaan tidak ingin mengalokasikan lahan plasma sebesar 20%. Tidak mungkin kebun plasma dibangun di lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) kecuali bupati memberikan lahan. Sedangkan, perusahaan yang ingin membangun perkebunan sawit baru, maka HGU harus ditentukan dari situ dengan dikeluarkan 20% untuk petani. Namun dalam revisi permentan ini harus dibangun kebun plasma terlebih dahulu untuk petani. Revisi ini penting karena ke depan perkebunan rakyat yang akan berkembang.
Saat ini, terdapat rencana pembangunan pabrik sawit mini untuk koperasi petani. Menurut Bapak?
Pabrik kelapa sawit mini yang berkapasitas olah 15 ton TBS per jam itu tidak efisien. Ini mempertimbangkan beberapa aspek seperti tenaga kerja dan pengelolaan limbah kelapa sawit. Makanya petani dianjurkan bangun pabrik sawit berkapasitas diatas 30 ton TBS per jam. Jadi bisa dibilang PKS mini tidak ada yg berjalan dan tidak efisien.