Menurut laporan Wetland Internasional (Joosten, 2009) sekitar 90 persen lahan gambut Indonesia merupakan lahan gambut rusak (degraded peat land). Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebuna kelapa sawit dari berbagai penelitian ternyata menurunkan emisi GHG lahan gambut.
Emisi GHG gambut skunder (degraded peat land) mencapai 127 ton CO2/hektar/tahun. Dengan penanaman kelapa sawit dilahan gambut emisi GHG berkurang 55-57 ton CO2/hektar/tahun (Melling, et.al. 2005, 2007). Murayama dan Bakar (1996), Hooijer (2006) menemukan angka emisi yang lebih rendah yakni 54 ton CO2/hektar/tahun. Bahkan penelitian Germer dan Sauaebron (2008) menemukan emisi GHG perkebunan kelapa sawit dilahan gambut jauh lebih rendah yakni hanya 31,4 ton CO2/hektar/tahun. Perbedaan hasil penelitian tersebut antara lain mungkin disebabkan perbedaan kedalaman dan kualitas gambut serta tata kelola perkebunan kelapa sawit dilahan gambut.
Hasil penelitian Sabiham (2013), menunjukan bahwa stok karbon bagian atas lahan gambut makin meningkat dengan makin bertambahnya umur tanaman kelapa sawit. Pada umur dewasa stok karbon pada kebun sawit gambut bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan stok karbon hutan gambut skunder (degraded peat land).
Berdasarkan fakta empiris menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit dilahan gambut bukan lah meningkatkan emisi GHG, justru menurunkan emisi GHG lahan gambut. Dengan demikian, pemanfaatan lahan gambut sekunder menjadi perkebunan kelapa sawit yang dikelola sesuai azas-azas keberlanjutan dapat mengurangi emisi GHG gambut dibandingkan dengan dibiarkan sebagai lahan gambut sekunder.
Sumber: Mitos vs Fakta, PASPI 2017