Oleh: Dr. Bayu Krisnamurthi
Pertemuan pertama terjadi sekitar pertengahan 2005 – hampir 20 tahun lalu – dan diikuti dengan pertemuan-pertemuan berikutnya, dalam kebersamaan yang nyaris tanpa jeda. Pak Paulus Tjakrawan, kesan pertama bertemu dengan beliau menyenangkan: santun, murah senyum, pintar, bicara dengan data, lembut, tetapi juga teguh dan pantang mundur, penuh semangat.
Pak Paulus membawa semangat pengembangan biofuel, atau bahan bakar nabati (BBN). Beliau menguasai teorinya, proses produksinya, model bisnisnya, dan perjuangan regulasi dan keberpihakan yang diperlukan. Beliau mendirikan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia atau Aprobi, dan sekaligus memimpinnya.
Tahun 2005 dan 2006 perjuangan pengembangan BBN masih berada pada tahap awal. Produksi nasional masih sangat sedikit, mungkin baru 200-300 ribu kiloliter saja setahun. Dan baru beberapa perusahaan kelas menengah yang menjadi produsennya.
Pak Paulus memperjuangankan BBN didasarkan pada idealisme yang kuat untuk mengembangkan energi ramah lingkungan, terbarukan, dan sepenuhnya berasal dari dalam negeri, serta dapat menciptakan nilai tambah dan kesempatan kerja bagi rakyat. Substansi perjuangannya tidak muluk-muluk: minta agar BBN diperlakukan sama dengan BBM.
Dalam kerangka program Revitalisasi Pertanian, pengembangan BBN mulai mendapat tempat. Kemudian juga bersambut dengan kebijakan untuk melakukan diversifikasi energi akibat terjadinya peningkatan harga minyak. Bahan bakar nabati mulai disebutkan secara eksplisit sebagai bagian dari portofolio energi Indonesia.
Tahun 2006 kemudian pemerintah membentuk Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati. Pak Paulus salah seorang anggota penting dalam tim. Ketika itu menjadi terkenal usaha pengembangan tanaman jarak pagar yang diharapkan dapat menjadi sumber bahan baku BBN. Dan kemudian terbukti sebagai pilihan yang kurang tepat dan BBN jarak pagar tidak berhasil berkembang.
Sejak awa,l pak Paulus sudah mengingatkan bahwa penggunaan jarak pagar akan menghadapi tantangan industrial, mengingat BBN harus memasuki pola bisnis energi yang sangat industrial, berskala besar, dan nyaris tanpa kompromi. Sejak awal pak Paulus mengingatkan, bahwa yang siap untuk memenuhi karakteristik itu hanyalah BBN sawit.
Meskipun BBN berhasil masuk dalam Kebijakan Energi Nasional, dengan target BBN akan berkontribusi minimal 5% dalam bauran energi nasional 2025; setelah berjalan 2-3 tahun, pengembangan BBN secara nasional sempat meredup. Namun pak Paulus tidak berhenti dan tetap konsisten memperjuangkannya. Dan lebih eksplisit mendorong pengembangan BBN sawit. Tidak hanya mengadvocasi, pak Paulus juga konsisten tetap menjalan perusahaan produsen BBN meskipun dalam kondisi bisnis yang belum menentu dan penuh keterbatasan.
Momentum besar pengembangan BBN terjadi pada tahun 2015 ketika pemerintah memutuskan melaksanakan kewajiban campuran biodiesel sawit dalam penjualan minyak solar, mulai dari campuran 5% – B5 – hingga sekarang telah menjadi 35% – B35, dan didirikannya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, BPDP Sawit, yang mengelola dana pendukung kebijakan biofuel tersebut.
Momen penting ini tidak membuat perjuangan Pak Paulus surut. Bahkan sebaliknya. Panggung perjuangan menjadi berkembang ke mancanegara.
Kritik dan pandangan negatif hingga kampanye hitam tentang biofuel sawit mendorong pak Paulus giat dan gigih berjuang dipanggung-panggung diplomasi dan negosiasi, membela BBN sawit Indonesia.
Berbicara dibanyak negara dan forum internasional, menjadikan pak Paulus menjadi salah satu diplomat utama dari BBN Indonesia. Dengan gaya yang tetap santun, tenang, ramah, dengan data-data yang akurat dan up-to-date tetapi juga tegas dan konsisten, pak Paulus dikenal, diakui, dan dihormati kawan dan lawan diplomasinya sebagai pejuang BBN Indonesia yang tangguh.
Ditengah berbagai usaha itu pak Paulus tidak melupakan kecintaannya yang lain: Gerakan Pramuka. Sebagai pengurus pusat Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, pak Paulus bahkan membawa pendidikan tentang lingkungan, kedaulatan energi nasional, dan kemandirian bangsa melalui pengembangan biofuel itu kedalam Gerakan Pramuka. Hampir pada setiap kesempatan pertemuan-pertemuan besar – seperti Jamboree Nasional – pak Paulus selalu menyempatkan untuk menyertakan program pemahaman tentang sawit dan biofuel kepada calon-calon pemimpin masa depan, anak-anak Gerakan Pramuka.
Kini pejuang yang santun dan penuh ketulusan itu telah berpulang, beristirahat dengan tenang dan tersenyum disamping Tuhannya. Justru ketika usaha mengatasi sakitnya telah menunjukkan hasil dan proses pemulihan berjalan, Tuhan berencana lain untuk menempatkan pak Paulus ditempat yang lebih baik.
BBN Indonesia kehilangan pejuangnya yang tulus, kehilangan diplomatnya yang tangguh dan santun. Sawit Indonesia kehilangan rekan, kolega, dan aktivis yang selalu siap bekerja dan setia. Gerakan Pramuka kehilangan kakak pembinanya yang istimewa. Dan kita semua kehilangan guru dan sahabat yang dekat dan akrab.
Selamat jalan Pak Paulus. Beristirahatlah dalam damai.–
Bayu Krisnamurthi 4 Februari 2024