Peredaran minyak jelantah perlu diatur dalam regulasi khusus. Tujuannya mencegah daur ulang minyak jelantah menjadi minyak goreng lagi.
Kalangan pengusaha minyak nabati mengingatkan minyak jelantah apabila dikonsumsi akan berdampak negatif bagi kesehatan. Pasalnya, minyak jelantah mengandung senyawa yang bersifat karsinogenik yang terjadi selama proses penggorengan. Hal tersebut diungkapkan Bernard Riedo, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), saat membuka hybrid webinar bertemakan “Kupas Tuntas Regulasi Minyak Jelantah Dari Aspek Tata Niaga dan Kesehatan”, Rabu (23 Juni 2021).
Acara ini diselenggarakan oleh GIMNI dan Majalah Sawit Indonesia dengan dukungan penuh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS). Kegiatan dibuka oleh Dr. Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian RI. Adapun sambutan juga menghadirkan Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Bernard Riedo mengatakan berbicara minyak jelantah tidak terlepas dari minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat Indonesia yang saat ini mencapai 7-8 juta ton/tahun. Dari data yang dihimpun GIMNI, konsumsi minyak goreng di Indonesia menghasilkan minyak jelatah kurang lebih 4 juta ton/tahun. Ini adalah bukan jumlah yang sedikit yang akhirnya dikonsumsi oleh masyarakat,” ujarnya.
Tanpa disadari masyarakat umum jika ditinjau dari komposisi kimianya minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik yang terjadi selama proses penggorengan. Untuk keperluan memasak, minyak jelantah akan mengalami proses oksidasi dan polimerisasi asam lemak berkomplikasi menghasilkan sifat toksis bagi sel tubuh yang dipicu oleh radikal bebas senyawa peroksida sehingga tidak direkomendasikan layak untuk digunakan.
Standar mutu nasional Indonesia, minyak jelantah memiliki bilangan peroksida 20-40 meq/kg, sementara bilangan peroksida pada minyak goreng sebesar 10 meq/kg sesuai dengan SNI 01-3741-2002.
Angka peroksida adalah untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Jika angka peroksida dengan kadar yang tinggi berdampak pada turunnya kualitas minyak goreng sehingga berbahaya bagi kesehatan. Di antaranya memicu berbagai risiko seperti kanker, diare, kerusakan oksidatif melalui peningkatan kadar serum malondialdehid (MDA), diikuti dengan peningkatan aktivitas superoksid.
Selain itu, juga merangsang proses peradangan hati melalui peningkatan ekspresi sitokin proinflamasi minyak jelantah juga menyebabkan perubahan histologik hati berupa adanya perlemakan hati atau steatosis.
Selanjutnya, Riedo menambahkan saat ini minyak jelantah sudah menjadi barang (minyak) yang diperjual belikan di masyarakat yang memiliki rantai dagang mulai dari penjaul, pembeli, pengepul dan eksportir ke beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor.
“Kita harus perhatikan kesehatan masyarakat dan menjadi hal penting bagi kuatnya suatu negara. Dan, ini belum disadari mengingat konsumsi minyak jelantah pada makanan yang digoreng saat ini masih cukup besar,” imbuhnya.
Bahkan, lanjut Riedo, saat ini tren minyak jelantah banyak digunakan masyarakat baik individu maupun entitas usaha yang menjual belikan minyak jelantah. Selain itu, masyarakat juga sudah mulai banyak yang mengumpulkan minyak jelantah dengan tujuan sosial maupun barter.
“Namun dalam pemanfaatannya belum disertai regulasi khusus terutama pengaturan minyak jelantah. Harapannya, ada regulasi khusus sehingga minyak jelantah tidak dikonsumsi kembali untuk makanan,” pintanya, saat sambutan Dialog Webinar Sawit, yang diadakan GIMNI kerjasama dengan Majalah Sawit Indonesia.
Untuk menekan angka minyak jelantah yang digunakan lagi untuk menggoreng (makanan), diperlukan pengawasan. Penggunaan minyak jelantah harus diawasi dan atur, dan diperlukan sinergi dengan pemerintah untuk melakukan terobosan dalam hal pengaturan sehingga minyak jelantah dapat didaur ulang untuk konsumsi lainnya bukan untuk makanan.
“Kesehatan masyarakat tentu harus diutamakan apa lagi di masa pandemi saat ini, ketahanan daya tahan tubuh (imun) sangat diperlukan. Seperti diketahui, pemakaian minyak jelantah biasanya digunakan berulang untuk kebutuhan rumah tangga, pelaku usaha dengan berbagai alasan sebab masih layak digunakan hingga faktor penghematan biaya,” pungkas Riedo.
Selain masyarakat melainkan stakeholders perlu mengedepankan sikap mawas akan penggunaan minyak goreng berulang. Upaya ini, baik untuk melindungi keluarga dari penyakit menimbulkan kerusakan oksidatif bagi kesehatan dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan penyakit degeneratif dan keganasan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 117)