JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah sedang merancang aturan baru untuk menyelesaikan persoalan perkebunan masuk yang dimasukkan menjadi kawasan hutan. Aturan baru ini diharapkan menjadi solusi kendala legalitas dalam proses sertifikasi ISPO.
“Langkah ini diambil sebagai jalan keluar untuk enforcement karena telah menjadi perkebunan sawit sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian, Musdalifah Machmud, dalam diskusi Webinar Nasional bertajuk “ISPO Pasca Terbitnya Perpres No.44 Tahun 2020” yang diselenggarakan FP2SB (Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan), Majalah HORTUS Archipelago dan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, kemarin, di Jakarta).
Saat ini, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian atau Kemenko Perekonomian telah menyiapkan informasi dan dokumen legal dari setiap kawasan hutan yang sudah ditanami kelapa sawit. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) sedang merancang dasar aturan tersebut.
Saat ini, pemerintah akan memulai penyelesaian masalah perkebunan sawit dalam kawasan hutan bakal dari Kalimantan Tengah. Setelah itu, dilanjutkan kawasan hutan di Sumatera Utara dan Riau secara bersamaan. Nantinya, tiga provinsi inilah yang menjadi pilot project bagi wilayah lainnya.
Musdhalifah menambahkan, selaku regulator, pemerintah akan menyediakan regulasi, melakukan monitoring dan evaluasi, serta tidak melakukan intervensi dalam proses penilaian dan penerbitan sertifikat. Hal ini untuk menjamin adanya independensi.
Dirjen Perkebunan, Kasdi Subagyono yang juga tampil sebagai pembicara pada webinar tersebut mengatakan, dalam rancangan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) yang saat ini sedang dimatangkan, kepemilikan sertifikat ISPO ini wajib untuk perusahaan perkebunan dan pekebun (5 tahun sejak diberlakukan Perpres bagi pekebun). Selain itu, prinsip dan kriteria pekebun (tidak dibedakan antara petani plasma dan petani swadaya). Sertifikasi ISPO dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi dan disahkan oleh pimpinan LS.
Dalam rancangan Permentan itu juga diatur kelembagaan ISPO yang terdiri dari Dewan Pengarah yang diketuai oleh Kemenko Perekonomian dan Komite ISPO yang diketuai oleh Menteri Pertanian.
Terbitnya regulasi mengenai perkebunan sawit di dalam kawasan hutan mendapatkan sambutan baik dari petani. Gulat Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO, mengatakan penyelesaian sawit dalam kawasan hutan ini sudah ditunggu sejak 10 tahun lalu. Di tahun 2010 kebawah masalah ini kurang begitu terekspose. Tapi dengan munculnya regulasi2 yang mengatur tatakelola hutan mengakibatkan terjadinya ‘irisan’ dengan pemanfaatan tanah yang dulunya tidak jelas peruntukannya.
Inpres No 6 Tahun 2019 tentang Rancangan Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan mengharuskan lintas kementerian harus fokus duduk bersama bagaimana paduserasinya. “Sawit dalam kawasan hutan adalah masalah yang sangat serius, tidak ada gunanya kita bercerita ISPO jika masalah yang semudah ini saja gak selesai-selesai atau jangan-jangan sengaja persoalan ini diternak?”, tanya Gulat.
Dalam pandangan Gulat, Perpres ISPO merupakan terobosan dan lompatan jauh tetapi apabila a tidak diiringi dengan kebijakan strategis tentang solusi sawit dalam kawasan hutan maka Perpres dan Permentan ISPO menjadi permainan NGO.
“Petani Sawit Indonesia sebelumnya menolak Draf Perpres ISPO ini karena diwajibkan punya sertifikat ISPO. Kami merasa petani belum siap dengan segala persoalannya sawit dalam kawasan hutan,” jelas Gulat.
Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengakui percepatan sertifikasi ISPO harus didukung dengan perbaikan regulasi yang tumpang tindih. Tantangan dalam sertifikasi ISPO selama ini anggota Gapki yang sudah bersertifikat ISPO belum dapat menjual CPO dan Produk Turunannya sebagai Produk ISPO di tingkat local, nasional serta internasional.
Tantangan berikutnya, ISPO dari aspek tata kelola yang berkelanjutan sudah diketahui, namun dari aspek produk ISPO-nya belum bisa “diketahui oleh berbagai pihak“ secara nasional maupun internasional. Selain itu juga anggota Gapki belum bisa menyatakan klaim produk ISPO yang sudah diverifikasi oleh lembaga independen terakreditasi