Pasca COP-26 di Glasgow-UK, Pemerintah Indonesia bergiat membangun strategi untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030, serta mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Target-target ini diusung dalam kerangka berkontribusi menurunkan suhu bumi 1.5-2°C. Sektor AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land-use) digadang dapat memberikan kontribusi sebesar 17,52% pada kondisi skenario tanpa persyaratan mitigasi terhadap penurunan emisi nasional. Industri minyak sawit juga diharapkan dapat memberikan kontribusinya dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk mencapai target nasional. Luas perkebunan sawit di Indonesia yang mencapai 16,38 juta ha tentunya bukan hanya mengeluarkan emisi dalam proses produksi minyak sawit (CPO), tetapi diharapkan justru memberikan sumbangan dalam penyerapan karbon yang dihitung dari karbon yang tersimpan pada tanaman sawit jika perkebunannya berasal dari areal yang sebelumnya memiliki cadangan karbon lebih rendah seperti alang-alang, tegalan, atau areal yang kurang produktif.
Kelapa Sawit memainkan peranan penting dalam peningkatan ekonomi masyarakat dan sumber devisa negara. Sepanjang tahun 2021, devisa dari sektor kelapa sawit mencapai Rp430 Triliun. Industri minyak sawit ini juga tercatat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan di wilayah pedalaman dan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 16 juta kepala keluarga.
Upaya penurunan emisi dari bisnis proses produksi minyak sawit harus didasarkan pada perhitungan emisi yang benar. Namun demikian, banyaknya formula perhitungan emisi gas rumah kaca dari perkebunan kelapa sawit, mengundang berbagai kritikan tajam tentang cara perhitungan yang tepat dan akhirnya dapat dibakukan. Setiap skema memiliki pendekatan perhitungan yang berbeda seperti model perhitungan yang ditetapkan oleh GHG Protocol, Life CycleAssessment (LCA), RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), ISCC (International Sustainability & Carbon Certification) maupun ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan lainnya.
Di sisi lain, Indonesia telah memiliki ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang ditetapkan oleh pemerintah dan menjadi instrumen dalam mewujudkan perkebunan sawit yang berkelanjutan sejak tahun 2011 sebelum adanya kesepakatan Paris (Paris Agreement) pada COP21 (conference of parties 21) di Paris pada tahun 2015. ISPO terus berevolusi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar dan para pihak terkait, sehingga ketentuan di dalam ISPO telah direvisi melalui Peraturan Menteri Pertanian nomor 11 tahun 2015 dan Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2020 yang secara teknis pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian nomor 38 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Seritifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Pembaharuan peraturan ini bertujuan untuk memperkuat pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan termasuk di dalamnya upaya mitigasi emisi gas rumah kaca.
Penerapan dan sertifikasi ISPO dimaksudkan untuk memastikan pelaku perkebunan kelapa sawit telah menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan dalam kegiatan usahanya. Selain itu tujuan ISPO adalah untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia dipasar dunia, mengurangi emisi gas rumah kaca, menangani masalah lingkungan, serta melindungi dan mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang dikelola secara berkelanjutan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 129)