JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi salah satu instrumen untuk memperbaiki perekonomian nasional dan kesejahteraan petani sawit. Banyak hambatan di lapangan dari segi regulasi dan tata kelola terutama masalah kawasan hutan. Akibatnya, target Presiden Joko Widodo untuk mencapai 540 ribu hektare peremajaan kelapa sawit bisa terancam gagal.
Data per 24 Juni 2021, realisasi lahan PSR yang telah tertanam seluas 114.657 Ha sepanjang 2017-2021. Keinginan mempercepat realisasi PSR terganjal regulasi di sektor kehutanan sehingga mempersulit petani untuk mendapatkan kejelasan status lahan.
Dalam presentasinya di IPOS Forum ke-6, Dr. Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian RI, menjelaskan bahwa program peremajaan sawit rakyat terdapat beberapa tantangan salah satunya adalah permasalahan lahan.
Tercatat, ada lima masalah yang dihadapi yaitu pekebun dan lahan perkebunan belum memenuhi syarat (clean and clear), lahan tidak dalam satu kawasan (hamparan), indikasi lahan dalam kawasan hutan, indikasi lahan tumpang tindih dengan lahan pihak lainnya, dan ada kekhawatiran dari petani lantaran adanya tindakan aparat penegak hukum yang melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan penyimpangan pelaksaan program PSR.
Merujuk data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Terdapat lahan pekebun yang terindikasi berada pada kawasan hutan, tumpang tindih, dan beririsan pada lahan yang penerima dana program PSR. Total luasan lahan petani yang terindikasi persoalan lahan mencapai 753,98 hektare.
Musdhalifah menjelaskan lahan petani penerima dana PSR yang terindikasi di kawasan hutan. Maka, memerlukan dukungan penyelesaian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dukungan serupa dibutuhkan dari Kementerian ATR/BPN dalam penyelesaian sertifikasi lahan sawit yang telah mendapatkan dana Peremajaan Sawit Rakyat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian telah mengeluarkan surat dalam rangka percepatan pelaksanaan PP No. 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin dan/atau Hak Atas Tanah disampaikan beberapa hal antara lain: Diperlukan dukungan dan komitmen K/L dan Pemda untuk menyelesaiakan Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah sesuai dengan periode waktu dalam UU 11/2020 dan PP 43/2021.
K/L perlu menyampaikan data pembentuk PITTI (Peta Indikatif Tumpang Tindih Informasi Geospasial Tematik) ketidaksesuaian dan data pendukung penyelesaian ketidaksesuaian kepada Kemenko Ekon paling lama 3 bulan sejak PP 43/2021 berlaku.
“PSR ini bukan saja kepentingan sektor pertanian. Melainkan telah menjadi kepentingan nasional yang membutuhkan dukungan berbagai pihak,” harapnya.
Hasil IPOS Forum ke-6 menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk menyelesaikan masalah PSR. Rekomendasi ini disusun oleh empat pakar kelapa sawit dari kalangan perusahaan dan akademisi yaitu Ir. Kacuk Sumarto, Sabri Basyah, Ir. Andi Suwignyo, dan Dr. Hasril H. Siregar.
Selama dua hari berlangsung, ditemukan banyak persoalan yang menghadang PSR: (a) areal yang berpotensi diremajakan berada di Kawasan hutan, (b) Sebagian lahan belum tersertifikasi, (c) bantuan dana sebesar 30 juta rupiah per hektar belum cukup, dan (d) ketakutan petani/pekebun sebagai objek pemeriksaan oleh aparat.
Selain itu sinergi kemitraan antara petani/pekebun dengan perusahaan perkebunan masih belum sesuai harapan.
Dalam sesi Kepastian Hukum Alas Hak Atas Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 579/Menhut-II/2014 tanggal 24 Juni 2014 tentang Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara dari Bareskrim Polri menjelaskan bahwa dalam masa pandemi dan kondisi negara tidak stabil kepolisian menerapkan azas Ultimum Remedium dalam penegakan hukum, yaitu sanksi pidana menjadi pilihan terakhir.
Masalah administratif dalam PSR seperti kebun yang dimasukan ke wilayah hutan, padahal kebun kelapa sawit sudah ada lebih dari 25 tahun dan memiliki sertifikat hak milik. Oleh sebab itu petani/pekebun tidak dapat melengkapi administrasi untuk mendaftar PSR. Hal ini menurut narasumber bahwa sertifikat hak milik tersebut diakui dan hal ini juga sudah pernah dibahas tidak hanya terjadi diwilayah Sumatera Utara juga terdapat di daerah lain.
Pada sesi keabsahan SK Menteri Kehutanan No.579 Tahun 2014 di Sumatera Utara bahwa SK 579 dapat berdampak negatif antara lain (a) memicu konflik antara pekebun dengan pemerintah, (b) menghambat investasi, khususnya PSR, (c) mengganggu pemanfaatan aset negara, (d) beresiko terhadap perbankan dan mempengaruhi perekonomian, dan (e) merusak wibawa ISPO dan RSPO.
SK Menhut No. 579 Tahun 2014 sangat bermasalah, sulit dan sebaiknya tidak dieksekusi. Untuk lebih fair dan tidak sectoral terkai SK 579/2014, sebaiknya kementerian kehutanan fokus mengurus hutan, sedangkan kawasan hutan diurus kementerian yang tidak sektoral.