PEKANBARU, SAWIT INDONESIA – Tim redaksi Sawit Indonesia terjun langsung untuk mengetahui pembahasan indeks K provinsi Riau. Anjloknya harga TBS sawit termasuk di Riau menjadi alasan peliputan ini sebagai bagian aspek transparansi dan keterbukaan perhitungan harga TBS bulanan maupun mingguan.
Pembahasan indeks K ini berlangsung setiap bulan bertempat di Lantai 2, Ruang Rapat Disbun Provinsi Riau Senin (22 Mei 2023). Sebagai provinsi nomor satu sawit di Indonesia, Riau menjadi sorotan dan barometer penetapan harga TBS di 22 provinsi se-Indonesia.
Mulai dari jam 10 pagi, Rapat indeks K tak kunjung selesai sampai jam 2 siang. Rapat yang dipimpin Zulfadli, Kepala Dinas Perkebunan Riau, rapat ini dihadiri perwakilan perusahaan sawit dan asosiasi seperti GAPKI, Apkasindo, dan Aspekpir.
“Saya harapkan penetapan indeks K bulan ini tidak turun jauh, karena banyak yang akan bertanya ke kami,” ujar Zulfadli di tengah-tengah rapat.
Zulfadli menjelaskan penghitungan indeks K bulan Mei harus detil dan teliti karena akan mempengaruhi harga TBS petani.
“Pemerintah Riau ingin penetapan harga TBS sesuai aturan berlaku. Apa yang terkandung dalam Biaya Operasional Langsung (BOL) dan Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) dapat dipertanggungjawabkan. Ujungnya mendapatkan harga TBS yang berkeadilan,” jelas Zulfadli.
Berdasarkan informasi yang diperoleh redaksi, putusan indeks K harga TBS provinsi Riau sebesar 89,85% pada Mei 2023. Besaran indeks ini lebih rendah dari bulan lalu sebesar 91,55%. Ada beberapa komponen yang mempengaruhi indeks K bulan ini yaitu harga CPO, beban THR dan bonus karyawan, dan produksi turun.
Dr. Gulat Manurung, MP.,C.IMA.,C.APO, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), yang mengetahui hasil rapat penetapan Indeks K sangat kecewa karena akan berdampak kepada harga TBS Riau di minggu ini.
Menurutnya, trik dari laporan rata-rata indeks K perusahaan peserta rapat indeks K akan membanting dibawah 90%. Indeks K itu adalah bagian yang diterima oleh petani sawit dari 100% TBS yang dijualnya. Misalnya, indeks K 90%, berarti 90% yang diterima petani dan 10% yang digunakan untuk mengolah TBS tersebut menjadi minyak kelapa sawit atau CPO. Yang 10% inilah yang digunakan untuk BOL (biaya operasional langsung) dan BOTL (biaya operasional tidak langsung).

“Tentu ini sangat menyedihkan di tengah harga TBS yang anjlok, indeks K malah turun. Sebelumnya berada 91,55% kemudian akhirnya diputuskan menjadi 89,85% berarti selisih 1,70% dibandingkan indeks K pada bulan sebelumnya,” terang Gulat.
“Artinya disini, petani sawit siap-siap harga TBS nya untuk lebih ambruk lagi periode 1 bulan kedepan. Kita berharap harga CPO naik diatas Rp13,500/kg, sehingga pengali yang kecil (indeks K) bisa tertolong oleh harga CPO yang naik,” ujarnya.
Menurut Gulat alasan yang disampaikan perusahaan kepada tim penetapan harga Dinas Perkebunan Provinsi Riau, rendahnya Indeks K ini dikarenakan beberapa alasan yakni, (1) pengaruh dari rendemen table, (2) harga CPO (crude palm oil) yang turun, (3) beban THR/tunjangan hari raya (4) bonus bagi para pejabat di perusahaan pabrik kelapa sawit (PKS), dan (5) produksi turun sehingga biaya pengolahan meningkat.
Mengomentari poin ketiga dan keempat, Gulat menyatakan sedih karena di tengah anjloknya harga TBS. Tetapi, pabrik sawit masih memikirkan THR dan bonus bagi para pejabatnya yang dibebankan kepada harga TBS petani sawit.
Lantas jika ada orang mengatakan bahwa harga penetapan Disbun adalah khusus ke petani yang bermitra “itu adalah pernyataan sesat. Karena faktanya semua PKS tanpa kecuali selalu merujuk ke harga Disbun dan harga tender CPO KPBN. Jadi rujukan utamanya adalah kedua hal ini, tidak lepas dari itu”.
“Ini menandakan perusahaan tidak mau berkurang untungnya. Semua beban dilimpahkan ke TBS petani, beban apapun itu dihilir” ujarnya.
Kemudian mengenai poin kelima, lebih gak masuk akal lagi, terang Gulat. Faktanya memang produksi buah petani cenderung menurun 20-35% efek tidak memupuk dimasa turbulensi tahun lalu yang masih berdampak sampai sekarang.
“Tidak masuk akal karena kok suplai TBS berkurang tapi harga TBS anjlok. Secara logika, ketika suplai berkurang harusnya harga sumber naik. Ketika produksi turun, cost naik, harga TBS naik. Tetapi di lapangan memang ada indikasi sesama pabrik sawit tarik-tarikan TBS Petani swadaya khususnya” ujar Gulat.
“Saya juga melihat harga penjualan CPO perusahaan peserta rapat sangat bervariasi, antara Rp9.000 sampai Rp12.000 per kilogram periode bulan lalu. Rasa-rasanya gak pernah harga CPO di bawah Rp10 ribu per kilogram periode 1 bulan lalu. Ini cukup mencengangkan karena semakin menggambarkan bahwa setiap perusahaan tidak terbuka mengenai harga penjualan CPO-nya,” seru Gulat.
“Semuanya ini terjadi karena Permentan 01/2018 yang mengkondisikan secara tidak langsung perhitungan indek K menjadi tidak transparan, tidak akuntabilitas dan susah digapai karena dirumitkan, sehingga sudah sangat tidak layak digunakan dan berbahaya. Dan semua ini akan tertuju pada satu titik yaitu menekan harga TBS petani,” pungkasnya.
Membuka semua elemen yang menentukan Indeks K sebagaimana diamanahkan Permentan 01, sama dengan membuka dapur perusahaan tersebut dan itu sama sekali tidak mungkin terjadi “masak ia PKS mau membuka rahasia dapurnya”. Ujung-ujungnya adalah pemberian data secara sepihak oleh perusahaan PKS tanpa bisa dibuktikan kebenarannya.
Jika melihat secara penyajian angka indeks K dari 15 perusahaan yang tergabung dalam tim penetapan harga, maka angka tertinggi diberikan oleh PT Musimas sebesar 94,53% dan yang paling rendah diberikan salah satu group besar, yaitu hanya 84%. Kabarnya perusahaan Indeks K terendah ini adalah pemegang dua sertifikat keberlanjutan RSPO dan ISPO.
“Penawaran angka indeks K Itu berbeda 10,50 peren. Ini tidak masuk akal. Kita tidak tau apakah ini benar sesuai dapur nya apa tidak. Pertanyaan, apakah perusahaan mau membuka dapur mereka? Tentu mustahil itu terjadi,” ujar Gulat.
“Jika demikian, kembali saya tegaskan bahwa Permentan 01 Tahun 2018 sama dengan hoaks karena tidak operasional. Tidak ada cara lain, Permentan 01/2018 harus direvisi dalam waktu secepat- cepatnya. Kalau tidak direvisi akan terjadi lagi seperti ini, dan terjadi lagi yang semuanya akan merugikan petani sawit di 22 Provinsi sawit. Ada 17 juta petani sawit sudah sangat menderita, tentu pemerintah harus berdiri ditengah menyelesaikan masalah yang sederhana ini,” lanjut Gulat.
Gulat lanjut menjelaskan bahwa di provinsi sentra sawit sudah terjadi penurunan angka perekonomian dari bidang perkebunan khususnya sawit, yang ditunjukan angka NTP (nilai tukar petani) bulan April sudah minus 3,5 dibandingkan periode Maret. Kalau indeks yang dibayarkan petani sudah lebih besar dari indeks yang diterima dari usahataninya, maka, Petani sawit siap-siap akan menjadi pasien BLT.
“Bisnis adalah bisnis tetapi bisnis yang merugikan satu pihak sudah masuk ke ranah KPPU atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan sedikit lagi sudah masuk ke ranah pidana,” tutup Gulat.