Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) mendorong penurunan harga gas untuk menggerakkan industri pengguna. Hal tersebut, diutarakan Yustinus Gunawan, Ketua Bidang Pengembangan Industri – FIPB, “Menanti Implementasi Perpres Nomor 40 Tahun 2016 Bagi Dunia Usaha” yang diselenggarakan APOLIN dan Majalah Sawit Indonesia didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Jakarta, pada pertengahan Februari 2020.
Menurut Yustinus pada 2014 harga gas cenderung negatif dan tidak stabil disebabkan rumitnya suply chain migas. Saat itu, harga migas turun hingga 60% sehingga industri dibuat cemas.“Ternyata yang ajaib harga di luar negeri sudah turun di dalam negeri harga masih stabil (tinggi), harga di luar negeri masih kalah dengan harga negara lain yang sudah turun,” ujarnya.
Terkait dengan Perpres no 40 tahun 2016 yang sudah diterbitkan 4 tahun lalu. Yustinus berpendapat begitu banyak pihak yang terlibatdengan beragam kepentingan. “Harga gas di dunia turun, di Indonesia masih tinggi,” tambahnya.
Data FIPGB menunjukkan nilai harga gas bumi di Indonesia. Harga gas bumi untuk Industri dari Perusahaan Gas Negara (PGN), di Sumatera Utara sejak 2017 sebesar USD 9,95/MMBTU walaupun pasokannya sangat kurang. Di Jawa Bagian Barat sejak 1 April 2013 sebesar USD 9,79/MMBTU, di Jawa Timur sejak 1 Novemver 2011 sebesar USD 8,72/mmbtu. Sementara, harga Liquified Natural Gas (LGN) sebesar 17-18 USD/MMBTU. Dan, harga Compressed Natural Gas (CGN) sebesar 20-22 USD/MMBTU.
Selanjutnya, Yustinus mengatakan implementasi Perpres No.40 tahun 2016 momennya sangat pas. Implementasi beleid ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Ketahanan Energi Nasional di pasal 7 yang berbunyi Sumber daya energi ditujukan untuk modal pembangunan dengan cara mengoptimalkan pemanfaatannya bagi pembangunan ekonomi nasional, penciptaan nilai tambah di dalam negeri dan penyerapan tenaga kerja.
“Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan paket kebijakan Ekonomi I (9 september 2015) yang bertujuan untuk menggerakkan ekonomi nasional dan mendorong daya saing industri nasional,” kata Yustinus.
Paket kebijakan Ekonomi I (pada 9 September 2015) bertujuan untuk menggerakkan ekonomi nasional dan mendorong daya saing Industri nasional. Paket kebijakan ini mengacu pada regulasi Peraturan Presiden tentang kebijakan harga gas bumi tertentu dalam kegiatan usaha hulu migas. Karena, ada hal penting untuk menegaskan pemerintah sebagai kuasa penambangan dalam menetapkan harga gas bumi. Aturan ini juga bermanfaat untuk menjamina lokasi dan harga gas untuk industri.
Ditambah dengan paket kebijakan ekonomi III (7 Oktober 2015) terkait penurunan harga gas dimungkinkan dengan melakukan efisiensi pada sistem distribusi gas serta pengurangan penerimaan negara atau PNBP gas. Penurunan harga gas ini tidak akan memengaruhi besaran penerimaan yang menjadi bagian perusahaan gas kontrak kerjasama.
“Instruksi (Perpres No 40 tahun 2016) yang dikeluarkan Presiden Jokowi sebenarnya sudah jelas.Tetapi kenapa kita (pelaku industri pengguna gas bumi) sangat cemas dengan tingginya harga gas, karena instruksi tersebut belum bisa diimplementasikan,” tegas Yustinus.
Bahkan, lanjut Yustinus dengan tingginya harga gas sebagai pendukung operasional industri untuk mempetahankan usahanya menjual saham ke orang asing. “Jadi dengan harga gas stabil (tinggi), maka kapasitasnya juga tidak bisa meningkat. Tingkat pertumbuhan industri di bawah pertumbuhan nasional,” tambahnya
“Kita bersama menanti dan menuntut janji pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No 14 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, pasal 3 yang berbunyi,“Dalam hal harga gas bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas bumi lebih tinggi dari US$ 6/mmbtu, Menteri dapat menetapkan harga gas Bumi tertentu,” pungkas Yustinus, mengakhiri pembicaraan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 101)