Banyak sekali informasi bias di ruang publik terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KLHK berkepentingan mengawal UU Omnibus Law berkaitan dengan tiga UU yaitu UU 32 tahun 2009, UU 41 tahun 1999 dan UU18 tahun 2013.
Saya mengajak semua pihak untuk mencermati pasal per pasal, bahkan ayat per ayat, serta kaitan antar UU, sehingga tujuan utama lahirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja dapat dipahami dan didukung bersama untuk kemajuan Indonesia.
Berikut beberapa point penting yang perlu saya tegaskan:
- UU Cipta Kerja sangat penting untuk menyelesaikan warisan masalah berkaitan dengan konflik-konflik tenurial kawasan hutan.
kita tidak ingin ada lagi kriminalisasi masyarakat lokal atau masyarakat adat dan masalah-masalah kebun di dalam kawasan hutan.
Rakyat harus dilindungi dan diberkan akses untuk mengelola sumber daya alam. Disinilah peran UU Omnibus Law Cipta Kerja hadir. Dengan UU Omnibus Law, tidak boleh lagi ada petani kecil asal ditangkap, justru mereka harus dirangkul dan diberi akses mengelola kawasan dalam bentuk Perhutanan Sosial. Ini Pertama kalinya Perhutanan Sosial diakui dalam UU.
Izin pengelolaan untuk kelompok rakyat kecil ini sudah berjalan selama beberpa tahun terakdir di masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Sebagai gambaran, sebelum 2015 rakyat hanya menguasai 4% saja dari izin pengelolaan hutan. Namun saat ini realisasi Perhutanan Sosial sudah mencapai 4,2 juta ha dan lahan hutan untuk masyarakat sudah sekitar 2,6 juta ha, ini kira-kira menjadi 13-16 % perizinan untuk rakyat kecil (dibanding dengan sebelumnya yang hanya 4%).
Komposis untuk rakyat ini akan terus naik karena secara ideal nanti dengan target 12,7 juta ha hutan sosial dan Tora, maka akan maka akan dicapai izin untuk rakyat kecil hingga 30-35%.
Jelas ini mengkoreksi kebijakan di masa lalu yang akibat-akibatnya sekarang kita rasakan dan sedang dibenahi satu persatu. Tantangannya tidak mudah, tetapi pemerintah terus berupaya berpihak kepada rakyat, salah satunya dengan hadirnya UU Omnibus Lau Cipta Kerja.
2. UU Omnibus Law bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sangat berpihak kepada masyarakat, dimana masyarakat disekitar hutan diikutsertakan dalam kebijakan penataan kawasan hutan, melalui Hutan Sosial dan TORA.
Simpelnya, ini dimaknai dengan izin diberikan langsung kepada rakyat kecil, bukan lagi korporasi. Izin untuk korporasi untuk membuka hutan primer dan gambut sendiri sudah dihentikan total secara permanen oleh Bapak Presiden.
Oleh karena itu jelas bahwa dengan UU ini pemerintah berpihak pada rakyat dan melindungi semua hak rakyat sekitar hutan, termasuk hak masyarakyat adat.
3. Terkait penyelesaian kebun rakyat dan korporasi dalam kawasan hutan serta belum punya izin (keterlanjuran), sangat tidak benar jika dikatakan UU Omnibus Law memberikannya cuma-cuma tanpa ada sangsi apa pun.
Faktanya, korporasi yang terlanjur berada dikawasan akan dikenakan sangsi denda atas keterlanjuran akibat kebijakan masa lalu dan sangsi denda itu akan menjadi penerimaan negara. Denda yang paling besar memungkinkan, akan masuk ke kas negara untuk nantinya dikembalikan bagi kepentingan rakyat.
Jika setelah UU Omnibus Law masih ada yang ‘bermain-main’ lagi di dalam kawasan, maka akan diterapkan sangsi pidana yang tegas.
Ketentuan ini menjadi penting, karena kasus-kasus keterlanjuran yang ditemukan menyangkut hak hidup orang banyak secara turun temurun, dan dibutuhkan kepastian berusaha untuk menjaga stabilitas peekonomi di daerah. Kita perlu ingat, ada rakyat yang mengantungkan hidup dari sektor hutan.
Keterlanjuran harus ditertibkan dengan peraturan yang tegas, terang dan adil bagi semua pihak. UU Omnibus Law mengakomodir semua hal itu!
4. Berkenaan dengan klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha, saya menyesalkan ada narasi mengatakan bawa UU Cipta Kerja menghilangkan AMDAL. Itu tidak benar!
Justru melalu UU Omnibus Law Cipta Kerja, memudahkan pemerintah mencabut perizinan berusaha bagi perusak lingkungan. Dengan mengabungakan izin AMDAL dengan pengurusan perizinan berusaha, jika perusahaan melangar, maka pemerintah dapat menabut keduannya sekaligus.
Jadi tidak benar jika dikatakan UU CK menjadikan kemunduran terhadap perlindungan lingkungan, karena tidak ada perubahan terhadap dasar aturan Amdal. UU CK hanya menyederhanakan perizinan, yang tidak hanya dibutuhkan pelaku usaha, tetapi juga dibutuhkan masyarakat kecil untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
5. Terkait kekhawatiran beberpa kalangan, bahwa kebijakan kawasan hutan 30% hilang dalam Omnibus Law, juga sangat tidak tepat.
Karena catatan ini sudah dicover dalam kewajiban pertimbangan bio-geofisik dan sosiologi masyarakat sebagai pertimbangan untuk penggunaan dan pemanfaatan selain pertimbangan daya dukung daya tampung. Justru dalam UU Omnibus Law ini bisa lebih ketat dari pada hanya soal angka 30%….!
Artinya implikasi kewajiban memiliki dan menjaga kawasan hutan, akan lebih ketat dalam aspek sustainability dan penerapan tools untuk itu seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Termasuk tools analisis pengaruh terhadap rantai kehidupan seperti rantai pangan (food Chain), rantai energi, siklus hidrologi, rantai karbon dll atau disebut LCA (Life Cycle Assessment) yang sudah diawali oleh KLHK.
Sementara 5 poit itu dulu, saya yakin masih banyak hal kritis lainnya yang masih liar berkembang di publik, menandakan demokrasi di Negara kita masih berjalan dengan baik.
Yang bengkok mari kita luruskan, yang gelap mari kita terangkan. Sehingga kita seiya sekata bergerak bersama mewujudkan Indonesia maju.
Sumber: Sitinurbaya.com