Eonmetall Group Berhad (Eonmetall) telah berhasil mengembangkan teknologi Palm Fibre Oil Extraction (PFOE) berbasis Solvent Extraction untuk mendapatkan minyak sawit yang terkandung dalam serat mesocarp sawit (Fibre) sebelum dimasukkan ke boiler sebagai bahan bakar. Teknologi PFOE juga dapat digunakan untuk merecovery oil loss yang terdapat pada Palm Kernel Cake (Cake eks 1st Press atau eks 2nd Press).
Bagi pelaku sawit mendapatkan tambahan oil extraction rate (OER) bukanlah perkara mudah. Karena banyak faktor yang mempengaruhinya mulai dari kualitas buah sawit dan cara perebusan buah di pabrik. Dari limbah sawit yang berasal dari fibre masih dapat diperoleh kandungan minyak.
Bonar Saragih, GM Business Development Eonmetall, mengatakan pelaku sawit telah mengetahui adanya kandungan minyak di dalam fibre tetapi selama ini masih banyak dipakai untuk bahan bakar.
Pengembangan solvent extractor mulai berkembang di India yang digunakan dalam teknologi industri makanan. Industri pengolahan kedelai, kacang, kanola dan bunga matahari telah lama memakai teknologi ini untuk menghasilkan kandungan minyak lebih tinggi. Bonar Saragih mengatakan teknologi ini aman digunakan karena solvent extraction menggunakan hexane (C6H14) yang bersifat food grade, seperti kita ketahui hexane yang digunakan untuk analisa FFA di laboratorium adalah jenis industrial grade (Non Food Grade).
Luas lahan yang diperlukan pabrik pemanfaatan teknologi PFOE hanya berkisar 1600 – 1800 meter persegi. Jadi, pabrik PFOE akan terpisah kegiatan operasionalnya dari pabrik kelapa sawit (PKS). Tetapi akan terintegrasi dengan baik karena kebutuhan fibre diperoleh dari limbah buah sawit yang telah diolah PKS. Jumlah bahan baku yang dibutuhkan pabrik PFOE ini sebesar 13,5% dari kapasitas PKS. Kalau PKS berkapasitas 90 ton per jam artinya suplai bahan baku fibre berkisar 12 ton per jam.
Dengan jumlah kandungan minyak sebanyak 5%-6% di dalam fibre apabila dapat diambil akan berdampak positif kepada jumlah OER. Eonmetall telah berhasil mengembangkan teknologi pengambilan minyak dari fibre melalui pabrik PFOE, sehingga minyak yang terkandung di fibre dapat direcovery sebesar 80% atau dapat meningkatkan OER sebesar 5% x 80% x 13,5% = 0,54%. Atau untuk setiap pengolahan 1 ton fibre maka akan diperoleh tambahan minyak sebesar 40 kilogram.
Kandungan minyak sebanyak 5% di dalam fibre, ketika dapat diambil 80% saja artinya sudah ada tambahan 4%. Sehingga dengan bahan baku 1 ton fibre diperoleh tambahan minyak sawit merah (RPO) sebesar 40 kilogram.
Fibre akan masuk ke dalam extractor yang selanjutnya diekstraksi dengan hexane (C6H14) dengan cara spray-kan cairan hexane. Hasil dari extraction ini adalah fibre yang mengandung hexane dan miscella (cairan hexane bercampur RPO).
Fibre yang mengandung hexane akan dipisahkan dengan desolventiser dengan bantuan steam sehingga hexane akan menguap dan selanjutnya dicondensation untuk di-recycle pada proses berikutnya. Sedangkan, miscella dipisahkan juga antara hexane dan RPO dengan cara distillation sehingga hexane terpisah dengan RPO.
Investasi pabrik PFOE ini sangat menguntungkan buat investor karena tingkat Return On Invesment-nya jika harga CPO RM 2.450 hanya berkisar 1,5 tahun untuk PKS 120 ton per jam. Lalu, butuh 2,3 tahun untuk PKS 90 ton per jam, 3 tahun untuk PKS 60 ton per jam.
“Jadi semakin banyak buah diolah, pengembalian investasi lebih cepat kembali. Kalau investasi lebih lama khawatirnya pelaku sawit enggan menanamkan modal disini,” kata Bonar.
Pembangunan pabrik sampai commisioning memakan waktu tidak lebih dari 8 bulan. Dengan teknologi berbasis solvent extraction ini PKS juga dapat mengurangi kernel loss, dimana kita ketahui bersama bahwa saat ini untuk meminimalisir oil loss di fibre dilakukan proses pengepresan dengan pressure yang tinggi yang berakibat tingginya broken kernel >15% sehingga banyak kernel halus yang terhisap bersama fibre dan cangkang (di LTDS 1 dan 2). Dengan teknologi PFOE, pressure dapat dikurangi dan minyak sawit akan direcovery di pabrik PFOE.
Kebutuhan power untuk pabrik PFOE ini relatif kecil yaitu hanya sekitar 180-200 KW dan kebutuhan steam 5 ton per jam untuk PKS 60 Ton. Pabrik PFOE tidak memerlukan lahan sangat luas karena sederhana dan fleksibel. Sistem pengoperasian pabrik pun bersifat otomatis. Ini berarti tidak memerlukan tenaga kerja dalam jumlah banyak. Kebutuhan tenaga kerja berjumlah tiga orang yang terdiri dari satu supervisor dan dua operator. Disamping itu, pabrik PFOE dapat dimonitor dari jarak jauh dengan menggunanakan teknologi Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) sehingga dapat terjamin keamanannya.
Sementara itu, konsumsi hexane dapat mencapai 3,0 liter per ton fibre untuk kegiatan operasional pabrik. Penggunaan air bersih diperkirakan 400 liter per ton fibre. Bonar Saragih mengatakan efisiensi ini akan memberikan keyakinan kepada pengguna bahwa biaya operasional dapat ditutupi dari hasil OER yang diperoleh nantinya. Apalagi minyak RPO dari fibre sawit ini berdasarkan penelitian Malaysian Palm Oil Board terdapat kandungan carotenoids, tocopherol, dan tocotrienol yang enam kali lebih tinggi dari CPO biasa. Kandungan lain yang terdapat di dalamnya adalah jumlah karoten 3.500-5.000 PPM, vitamin E sebesar 2.000-3.000 PPM, sterol berjumlah 4.000 -5.000 PPM, dan qualene sekitar 1.000-1.800 PPM.
Kendati demikian, Bonar Saragih mengakui tingkat FFA minyak RPO ini 1,5 diatas produk CPO. Meski demikian, jumlahnya tidak akan signifikan kalau diblending.
Jaminan modal kembali
Mulai 2004, Eonmetall mengujicobakan teknologi tersebut di salah satu PKS yang berada di Malaysia. Setelah menghadapi berbagai macam hambatan, barulah lima tahun berikutnya didapatkan hasilnya. Sampai saat ini, sudah ada 12 pabrik palm fibre oil extraction yang telah beroperasi dan 5 unit dalam tahap pembangunan yang seluruhnya di Malaysia.
Di Indonesia, kata Bonar Saragih, baru satu pabrik fibre yang telah beroperasi, berlokasi di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Saat ini ada satu unit proses pembangunan pabrik yang berada di Bengkalis-Riau.
Demi menyakinkan konsumen, Eonmetall memberikan garansi dalam pembangunan pabrik ini. Adapun garansi dari Eonmetall adalah kapasitas pabrik PFOE sesuai dengan perjanjian, minyak yang di-recovery >75% , jaminan buy back oleh Eonmetall untuk produk minyak RPO. Ketika masa garansi berlangsung, tenaga pengoperasian pabrik berasal dari Eonmetall selama 1-2 tahun. Hal ini bertujuan untuk memberikan jaminan pabrik dapat berjalan dengan baik sehingga modal dari investor cepat kembali. Selain itu, proses transfer pengetahuan dan teknologi kepada karyawan investor lebih mudah dilakukan.
Pengguna pabrik PFOE tidak perlu pusing dengan perawatannya karena suku cadang yang dipakai dapat ditemui di dalam negeri. Sebagai contoh, pompa yang dipakai jenis Kew-pumps banyak dipakai di Indonesia. Sama halnya dengan belting conveyor. Bonar Saragih mengatakan klien dapat menjalin kerjasama dengan pihaknya untuk melakukan perawatan sehingga tinggal terima beres.
Di Indonesia, Eonmetall berencana membangun pabrik PFOE independen yang sumber bahan baku akan dibeli dari pabrik kelapa sawit di sekitar lokasi pembangunan. Tahapan penjajakan masih dilakukan terutama suplai bahan baku. Rencananya pabrik ini juga akan menghasilkan energy alternatif berbasis biomasa denga pemanfaatan fibre sawit.
Bonar Saragih optimis teknologi PFOE akan diterima kalangan pelaku sawit di dalam negeri, apabila mempertimbangkan manfaat yang diperoleh dari kenaikan OER. Selain itu, limbah sawit fibre sebagai bahan baku pabrik PFOE yang mudah diperoleh belum dioptimalkan penggunaannya oleh kalangan pelaku sawit. (Qayuum Amri)