Babi hutan merupakan hama tanaman yang seringkali dijumpai di perkebunan kelapa sawit. Umumnya, babi hutan sering menyerang pohon yang baru ditanam atau berusia muda akibatnya pohon mengalami kerusakan bahkan mati. Saat ini, pelaku usaha kelapa sawit telah menemukan beragam metode untuk mengendalikan babi hutan.
Babi hutan yang memiliki nama latin sus crofa masih banyak ditemui di daerah hutan seluruh wilayah Indonesia. Babi hutan termasuk hewan omnivora yang dapat memakan tanaman dan cacing termasuk bangkai hewan. Berat babi hutan berkisar 50 kilogram-300 kilogram dengan panjang badan 1-1,8 meter. Babi hutan berada di areal yang berbatasan dengan hutan, semak belukar, hutan sekunder, dan hutan payau primer.
Babi hutan sering dijumpai di perkebunan sawit yang dijadikan tempat mencari makan. Tak heran, hewan ini memakan brondolan buah sawit yang berada di sekitar pohon. Selain itu, umbut pohon dan tandan buah juga menjadi sasaran makanan babi hutan. Sebagai contoh, Dinas Perkebunan Provinsi Jambi tahun 2010, mencatat babi hutan menyerang kebun kelapa sawit seluas 694,8 hektare yang diperkirakan menimbulkan kerugian Rp 98,3 juta. Di beberapa daerah, babi hutan juga menyerang manusia sehingga menimbulkan kekhawatiran.
Dalam mencari makan, babi hutan dewasa lebih senang bergerak sendiri tanpa bersama kelompoknya. Sementara, babi hutan betina bergerak bersama kelompoknya dalam jumlah 4-50 ekor untuk mencari makan. Hewan ini senang kubangan air dan lumpur.
Dalam situs klinik sawit dijelaskan jenis babi hutan yang umum dijumpai merusak tanaman kelapa sawit adalah Sus scrofa vittatus. Spesies lain adalah Sus barbatus atau babi janggut tetapi jarang dijumpai (Sipayung, 1992). Kedua spesies tersebut dilaporkan dijumpai di Sumatera dan Kalimantan. S. s. vittatus mempunyai garis putih di moncongnya, anak-anaknya berwarna coklat bergaris-garis terang, sedangkan S. barbatus berwarna agak muda, kepalanya lebih panjang dan berambut panjang tegak di sekeliling kepalanya.
Di Jawa dan Sulawesi dijumpai Sus verrucosus yang berukuran lebih besar dan mempunyai taring panjang di kepalanya dan badannya tidak berbelang (Sudharto dan Desmier de Chenon, 1997).
Dampak dari serangan babi hutan, terjadi kerusakan pada perakaran terutama terhadap akar-akar makan (feeding roots) di sekitar piringan pohon, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan hara dari tanah dan mendorong timbulnya penyakit akar.
Saat ini, pelaku usaha kelapa sawit telah menggunakan banyak metode untuk mengantisipasi serangan babi hutan. Umumnya, pengendalian terhadap hewan ini dilakukan lewat aktivitas perburuan dengan memanfaatkan hewan lain seperti anjing. Cara lainnya, pekebun memakai perangkap dan racun supaya hewan ini tidak merusak. Selain itu, penanaman bibit yang lebih tua atau berumur 15 bulan dapat pula mengurangi serangan karena pangkalnya keras dan berduri.
Dalam situs Direktorat Jenderal Perkebunan, Ratri Wibawanti, Peneliti Hama, menyebutkan ada metode pengendalian babi hutan yang dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Metode Langsung diaplikasikan lewat pemasangan jerat, racun, berburu, pemasangan lapun, dan lubang parit.
Dalam pemasangan jerat, kemungkinan sulit mendapatkan babi-babi hutan dewasa karena biasanya lebih berhati-hati. Peluang besar yang tertangkap yaitu anak babi hutan serta babi hutan baik jantan atau betina yang masih muda. Pemasangan jerat harus lebih giat dilakukan pada saat anak babi hutan sudah berhenti menyusu. Kelahiran anak babi terbesar terjadi sekitar bulan Januari-Februari, sehingga diperkirakan anak babi hutan akan berhenti menyusu sekitar bulan Juli.
Untuk penggunaan perangkap dapat menangkap babi hutan betina beserta anak-anaknya. Oleh karent itu, waktu pemasangan sebaiknya dilakukan pada Januari – Februari (masa melahirkan), Maret – Juni (masa menyusui), dan November – Desember (masa bunting). Sedangkan, lapun adalah sejenis jaring dari kawat baja, yang dapat digunakan untuk menangkap babi hutan secara hidup-hidup, pada waktu berburu.
Ratna menjelaskan metode tidak langsung dilakukan lewat pemagaran, penjagaan malam hari dan menggunakan musuh alami. Dalam penggunaan metode pemagaran dapat mencontoh kearifan petani di Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara yang memagar tanaman. Pemagaran memakai seng dengan ketinggian ± 40 cm, mengelilingi batang tanaman kelapa sawit pada saat mulai tanam sampai 2 tahun. kelemahan dari metode ini yakni Tidak semua daerah dapat dipagar, akan tetapi hanya lahan-lahan yang datar yang mudah dipagar. Pagar babi hutan memerlukan perawatan yang cermat.
Untuk metode penjagaan malam hari, disertai dengan membuat tiruan manusia (orang-orangan). Cara ini dianggap kurang efektif, arena babi hutan dapat mengetahui dengan cepat tiruan manusia (orang-orangan) tersebut.
Menurut Ratna, pengendalian secara biologis dilakukan lewat predator babi hutan seperti harimau dan ular atau menggunakan pestisida nabati seperti akar dan umbi Gloriosa superba LINN (Kembang Sungsang/Katongkat/Mandalika). Pengendalian babi hutan akan berhasil apabila dilaksanakan secara terpadu, yaitu dengan menggabungkan semua teknik pengendalian yang dianjurkan dengan memperhatikan keseimbangan alam serta lingkungan sekitar.
Tentu saja, beragam metode pengendalian babi hutan ini perlu mempertimbangkan kondisi alam dan lingkungan sekitar perkebunan kelapa sawit. Pilihan metode bergantung kepada masing-masing pekebun dan pelaku usaha, tentu saja dengan tujuan utama menyelamatkan pertumbuhan tanaman sawit supaya terhindar dari kerusakan. Selamat mencoba!! (ym)